Calcifaradalah suplemen dengan kandungan kalsium. Obat ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan kalsium dan mencegah serta mengatasi berbagai penyakit yang mungkin terjadi akibat tubuh kekurangan kalsium. Ketahui selengkapnya tentang Calcifar mulai dari manfaat, efek samping, dosis, petunjuk penggunaan, dan lainnya melalui artikel ini!
Latihan Soal Online - Latihan Soal SD - Latihan Soal SMP - Latihan Soal SMA Kategori Semua Soal SMA Biologi Acak ★ Ujian Semester 2 UAS / UKK Biologi SMA Kelas 11Pemberian nutrisi pada sel saraf terjadi melalui … A. Dendrit B. Neurit C. Sinapsis D. Sel schwann E. Nodus ranvier Pilih jawaban kamu A B C D E Latihan Soal SD Kelas 1Latihan Soal SD Kelas 2Latihan Soal SD Kelas 3Latihan Soal SD Kelas 4Latihan Soal SD Kelas 5Latihan Soal SD Kelas 6Latihan Soal SMP Kelas 7Latihan Soal SMP Kelas 8Latihan Soal SMP Kelas 9Latihan Soal SMA Kelas 10Latihan Soal SMA Kelas 11Latihan Soal SMA Kelas 12Preview soal lainnya Ujian Semester 1 UAS Biologi SMA Kelas 10Mencegah wabah penyakit ….. Vaksin yang dapat diberikan secara oral melalui mulut adalah vaksin untuk a. demam berdarah b. trakom c. rabies d. polio e. cacar Materi Latihan Soal LainnyaBusur dan Juring - Matematika SMP Kelas 8Mobilitas Sosial - IPS SMP Kelas 8Remidi PTS PAI SD Kelas 6PAT Fiqih MI Kelas 5Sistem Pencernaan Manusia - IPA Tema 3 Subtema3 SD Kelas 5Ulangan Tema 8 SD Kelas 4Poros MaritimFitokimiaKegiatan Ekonomi - IPS SD Kelas 5Tema 8 Subtema 2 PB 1 SD Kelas 5Cara Menggunakan Baca dan cermati soal baik-baik, lalu pilih salah satu jawaban yang kamu anggap benar dengan mengklik / tap pilihan yang Jika halaman ini selalu menampilkan soal yang sama secara beruntun, maka pastikan kamu mengoreksi soal terlebih dahulu dengan menekan tombol "Koreksi" diatas. Tentang Soal Online adalah website yang berisi tentang latihan soal mulai dari soal SD / MI Sederajat, SMP / MTs sederajat, SMA / MA Sederajat hingga umum. Website ini hadir dalam rangka ikut berpartisipasi dalam misi mencerdaskan manusia Indonesia.
Pemberiannutrisi pada sel saraf terjadi melalui 50. Bagian otak yang merupakan pusat pendengaran adalah 1. Asfiksi adalah salah satu gangguan pernapasan pada manusia. Hal ini disebabkan oleh 2. Antigen asing disintesis oleh 3. Hati merupakan salah satu alat ekskresi yang menghasilkan zat sisa 4. Fungsi silia pada trakea adalah 5. Latihan Soal Online - Latihan Soal SD - Latihan Soal SMP - Latihan Soal SMA Kategori Biologi ★ Ujian Semester 2 UAS / UKK Biologi SMA Kelas 11Pemberian nutrisi pada sel saraf terjadi melalui … A. Dendrit B. Neurit C. Sinapsis D. Sel schwann E. Nodus ranvierPilih jawaban kamu A B C D E Latihan Soal SD Kelas 1Latihan Soal SD Kelas 2Latihan Soal SD Kelas 3Latihan Soal SD Kelas 4Latihan Soal SD Kelas 5Latihan Soal SD Kelas 6Latihan Soal SMP Kelas 7Latihan Soal SMP Kelas 8Latihan Soal SMP Kelas 9Latihan Soal SMA Kelas 10Latihan Soal SMA Kelas 11Latihan Soal SMA Kelas 12Preview soal lainnya Pertumbuhan & Perkembangan - Biologi SMA Kelas 12Kalin merupakan hormon yang dapat merangsang pembentukan organ tubuh tumbuhan. Berdasarkan organ tubuh yang dibentuknya, antokalin dan arizokalin secara berurutan berfungsi merangsang pembentukan organ…A. akar dan batangB. daun dan batangC. batang dan bungaD. batang dan daunE. bunga dan akarCara Menggunakan Baca dan cermati soal baik-baik, lalu pilih salah satu jawaban yang kamu anggap benar dengan mengklik / tap pilihan yang tersedia. Materi Latihan Soal LainnyaMasa Kemerdekaan 1945–1950 - IPS SMP Kelas 9PTS Fisika SMP Kelas 9PTS Biologi SMA Kelas 10UAS Biologi SMA Kelas 12Teknik Layanan Jaringan SMK Kelas 12PAS TIK SD Kelas 5Tema 7 Subtema 1 SD Kelas 5Kuis Bahasa Indonesia SMA Kelas 11Ulangan IPA Tema 5 SD Kelas 6Ekosistem – IPA SD Kelas 5 Tentang Soal Online adalah website yang berisi tentang latihan soal mulai dari soal SD / MI Sederajat, SMP / MTs sederajat, SMA / MA Sederajat hingga umum. Website ini hadir dalam rangka ikut berpartisipasi dalam misi mencerdaskan manusia Indonesia. 12 SUDIRMAN. HORMON YANG TERKAIT DALAM KEBUTUHAN NUTRISI. A. Hormon Insulin. 1. Pengertian. Insulin adalah hormon yang mengatur pusat untuk metabolisme karbohidrat dan lemak dalam tubuh. Insulin menyebabkan sel-sel di hati, otot, dan jaringan lemak untuk mengambil glukosa dari darah, menyimpannya sebagai glikogen di hati dan otot. Insulin Parenteral adalah metode pemberian nutrisi, obat, atau cairan melalui pembuluh darah. Metode ini sering kali dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi pencernaan, seperti malabsorpsi, atau pasien yang baru menjalani operasi saluran cerna. Tubuh mendapatkan nutrisi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Makanan dan minuman tersebut kemudian akan melalui proses pencernaan di dalam tubuh. Namun, sistem pencernaan terkadang bisa mengalami gangguan, sehingga kemampuannya dalam mencerna dan menyerap nutrisi menjadi terganggu. Ketika hal tersebut terjadi, tubuh akan sulit memperoleh nutrisi penting, seperti karbohidrat, Lama-kelamaan, tubuh bisa mengalami kekurangan nutrisi. Untuk mencegah dan mengatasi masalah ini, Anda bisa mendapatkan asupan nutrisi secara parenteral dari dokter. Selain untuk memberikan nutrisi dan cairan, metode parenteral juga bisa dilakukan untuk memberikan obat-obatan melalui suntikan ke pembuluh darah atau infus. Cara pemberian obat seperti ini biasanya dilakukan pada pasien yang sulit atau tidak bisa menelan, atau memiliki gangguan pencernaan. Beberapa Kondisi yang Membutuhkan Pemberian Nutrisi Parenteral Pemberian nutrisi parenteral akan disesuaikan dengan kondisi pasien secara keseluruhan, jenis nutrisi yang diperlukan, dan penyakit yang diderita. Sebagian pasien bisa mendapatkan nutrisi parenteral selama beberapa waktu saja, tetapi ada pula pasien yang membutuhkan nutrisi parenteral seumur hidupnya. Berikut ini adalah beberapa kondisi yang membuat seseorang perlu mendapatkan nutrisi parenteral Kanker pada saluran pencernaan, misalnya kanker lambung dan kanker usus besar Penyakit radang usus, seperi penyakit Crohn dan kolitis ulseratif Riwayat operasi pada usus Gangguan pada aliran darah atau iskemia Penyumbatan di usus, misalnya ileus obstruktif Malabsorpsi Kesulitan menelan atau disfagia Pemberian nutrisi parenteral juga bisa dilakukan pada bayi yang tidak dapat mencerna nutrisi dari ASI atau susu formula dengan baik, seperti pada kondisi necrotizing enterocolitis atau NEC. Prosedur Pemberian Nutrisi Parenteral Pemberian nutrisi parenteral dilakukan melalui suntikan atau infus. Secara umum, ada dua jenis metode pemberian nutrisi secara parenteral, yaitu Nutrisi parenteral total total parenteral nutrition/TPN Metode pemberian nutrisi parenteral ini dilakukan pada pasien yang sama sekali tidak bisa mencerna seluruh jenis nutrisi, sehingga seluruh asupan nutrisinya diberikan sepenuhnya melalui infus. Nutrisi parenteral parsial partial parenteral nutrition/PPN PPN umumnya dilakukan dalam jangka waktu pendek pada pasien dengan kondisi dehidrasi atau memiliki kesulitan mencerna nutrisi tertentu malabsorpsi. Efek Samping dan Risiko Pemberian Nutrisi Parenteral Meski bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan tubuh, pemberian nutrisi secara parenteral juga dapat menimbulkan beberapa risiko dan efek samping berikut ini Infeksi, biasanya pada pembuluh darah vena Pembengkakan di tangan, tungkai, wajah, atau di organ tertentu, seperti paru-paru Sesak napas Gangguan elektrolit Gula darah naik berlebihan hiperglikemia atau justru menurun terlalu drastis hipoglikemia Demam dan menggigil Pembekuan darah Gangguan fungsi hati Masalah pada empedu, misalnya pembentukan batu empedu atau radang empedu Berkurangnya kepadatan tulang, terutama pada pemberian nutrisi parenteral jangka pajang Untuk mengantisipasi dan mencegah efek samping tersebut, dokter akan memantau kondisi pasien selama memberikan nutrisi, obat, atau cairan secara parenteral. Apabila efek samping yang muncul berpotensi membahayakan pasien, dokter akan menghentikan atau mengurangi pemberian nutrisi atau obat secara parenteral selama beberapa waktu hingga kondisi pasien membaik. Jika kondisi Anda memerlukan pemberian nutrisi parenteral, jangan ragu untuk bertanya kepada dokter mengenai manfaat, risiko, jangka waktu, dan hal-hal yang perlu dilakukan selama mendapatkan penanganan tersebut. Meneruskanimpuls dari badan sel saraf ke sel saraf lain atau ke sel otot atau ke sel kelenjar. Pada bonggol sinaptik terjadi proses sinapsis, yaitu komunikasi antara sel saraf satu dengan yang lain atau sel saraf dengan sel otot dan sel kelenjar menggunakan neurotransmitter. 4. Myelin: Selubung lemak berlapislapis, dihasilkan oleh sel Schwann. Sebaliknya, kekurangan vitamin B1 justru dapat berpengaruh pada kondisi mental, kemampuan belajar, energi, kemampuan tubuh dalam menghadapi tekanan, dan daya ingat pada penderita penyakit Alzheimer. Oleh karena itu, sebaiknya Anda memenuhi kebutuhan vitamin B1 dengan mengonsumsi beberapa jenis makanan, seperti biji-bijian, gandum utuh, daging, kacang-kacangan, atau ragi. 2. Vitamin B2 Selain menghasilkan energi bagi tubuh, vitamin B2 atau riboflavin juga bekerja sebagai antioksidan dengan melawan radikal bebas. Oleh karena itu, memenuhi kebutuhan vitamin ini diyakini dapat membantu mencegah kerusakan sel pada tubuh, sehingga terhindar dari risiko berbagai penyakit, termasuk penyakit jantung, kanker, hingga migrain yang terkait dengan otak. Bahkan, beberapa penelitian pun menemukan, riboflavin bisa menjadi salah satu obat alami untuk migrain. Agar mendapat manfaat tersebut, Anda bisa memperoleh vitamin B2 dari daging sapi, jeroan hati sapi, ikan salmon, kacang almond, bayam, telur, serta susu dan produk susu. 3. Vitamin B6 Vitamin B6 memiliki peran penting dalam perkembangan otak secara normal serta membantu menjaga kesehatan sistem saraf dan kekebalan tubuh. Dilansir dari Harvard Health Publishing, bersama dengan B9 dan B12, vitamin B6 dapat membantu menjaga kadar homosistein, yang dalam tingkat tinggi dikaitkan dengan risiko demensia dan penyakit Alzheimer. Anda dapat memenuhi kebutuhan vitamin B6 dengan mengonsumsi beberapa makanan, seperti daging unggas, ikan, kentang, buncis, dan pisang. 4. Vitamin B9 atau asam folat Selain menjaga kesehatan mental dan emosional, vitamin B9 atau disebut juga dengan asam folat sangat penting untuk menjaga fungsi otak dengan tepat. Nutrisi ini membantu tubuh memproduksi komponen genetik DNA dan RNA ketika seseorang masih bayi, remaja, atau sedang dalam masa kehamilan. Di sisi lain, kekurangan asam folat justru dapat menurunkan kemampuan daya ingat dan fokus, sehingga Anda mungkin merasa mudah lupa. Makanan yang mengandung asam folat dapat Anda temukan pada sayuran hijau, biji-bijian, ikan salmon, alpukat, gandum utuh, dan jus jeruk. 5. Vitamin B12 Tidak hanya membantu menjaga kesehatan sel darah merah, Vitamin B12 juga berperan dalam pembentukan mielin, yaitu lapisan pelindung saraf otak. Oleh karena itu, mengonsumsi vitamin ini dapat melindungi otak dari kerusakan saraf serta meningkatkan daya ingat. Di sisi lain, kekurangan vitamin B12 justru dapat menimbulkan berbagai gejala yang mungkin berkembang secara bertahap dan meningkat seiring waktu, seperti anemia, kesemutan di tangan atau kaki, memiliki masalah keseimbangan, hingga meningkatkan risiko hilang ingatan dan demensia. Vitamin B12 dapat Anda ditemukan pada daging sapi, unggas, ikan, dan produk susu. 6. Vitamin E Vitamin E adalah antioksidan yang dipercaya dapat membantu menjaga kesehatan otak serta mengurangi stres oksidatif akibat radikal bebas. Disebutkan dalam jurnal Nutrients, otak sangat rentan terhadap stres oksidatif, yang meningkat selama penuaan dan dianggap berperan dalam degenerasi saraf. Adapun mengonsumsi vitamin E disebut dapat meningkatkan kemampuan kognitif seseorang, sehingga diyakini dapat mencegah penyakit Alzheimer. Untuk mendapat manfaat tersebut, Anda bisa mengonsumsi beberapa makanan mengandung vitamin E, seperti kacang almond, minyak zaitun, minyak canola, kacang tanah, daging, susu, sayuran hijau, dan sereal. 7. Vitamin C Sama seperti vitamin E, vitamin C juga merupakan antioksidan penting yang dapat melindungi otak dari radikal bebas. Nutrisi ini juga dapat membantu tubuh memproduksi hormon dan zat kimia yang bermanfaat bagi otak dan sel saraf, serta dipercaya dapat menurunkan risiko demensia. Beberapa sumber vitamin C yang dapat Anda konsumsi adalah jeruk, lemon, kiwi, stroberi, tomat, brokoli, kembang kol, dan kubis. 8. Asam lemak omega-3 Sudah tak asing lagi, asam lemak omega-3 memang terkenal dengan perannya dalam perkembangan dan kesehatan otak. Asam lemak ini disebut dapat membantu membangun membran sel di otak serta memiliki efek antiinflamasi dan antioksidan yang bisa melindungi sel-sel otak. Sebaliknya, kekurangan asam lemak omega-3 diduga dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif otak pada seseorang. Guna mencegah hal tersebut, Anda dapat memenuhi kebutuhan asam lemak omega-3 dengan mengonsumsi berbagai jenis ikan, seperti salmon dan mackerel, atau sayuran berdaun hijau, kacang-kacangan, biji rami, dan kenari. Adapun suplemen omega-3 disebut belum menunjukkan efek yang sama. Pemberiannutrisi pada sel saraf terjadi melalui A. Dendrit B. Neurit C. Sinapsis D. Sel schwann E. Nodus ranvier . Latihan Soal Biologi Cara Menggunakan : Baca dan cermati soal baik-baik, lalu pilih salah satu jawaban yang kamu anggap benar dengan mengklik / tap pilihan yang tersedia. – Sistem saraf terdiri dari saraf di seluruh tubuh serta sumsum tulang belakang dan otak. Sistem ini berisi miliaran sel yang berkomunikasi dan bekerja sama untuk menjaga kesehatan tubuh. Pusat saraf dalam otak bertanggung jawab dalam mengendalikan pergerakan otot, fungsi kognitif, pembelajaran dan memori, pengembangan kepribadian dan sejumlah proses lainnya. Nutrisi dari asupan makanan sehari-hari memainkan peran dalam fungsi sistem saraf yang mana berkontribusi untuk beberapa proses yang diperlukan untuk pengembangan dan fungsi sel sistem saraf. Nutrisi dari makanan berdampak pada perkembangan sel otak sehingga memberikan kontribusi untuk fungsi otak yang tepat. Proses pembentukan sel-sel saraf di otak yang disebut neurogenesis, terjadi dalam rahim untuk berkontribusi pada sistem saraf yang matang, serta di masa dewasa untuk memfasilitasi pembentukan memori dan pembelajaran. Regulasi neurogenesis terbukti penting karena proliferasi abnormal pada sel-sel batang otak dapat menyebabkan gangguan neurologis seperti kanker otak. Fungsi sistem saraf juga bergantung pada myelin. Terdiri dari berbagai protein dan lemak, myelin mengelilingi dan menyekat serat saraf, membantu meningkatkan kecepatan pengiriman sinyal dari saraf. Hilangnya myelin dapat mengganggu pengiriman sinyal sel saraf yang tepat, yang mengarah ke gangguan neurologis. Sejumlah nutrisi seperti tembaga dan vitamin B-12 berkontribusi terhadap fungsi selubung myelin dan mendapat asupan kedua nutrisi tersebut penting untuk fungsi sistem saraf yang tepat. Nutrisi dari makanan sehari-hari juga berkontribusi komunikasi antara sel-sel otak yang merupakan proses penting untuk fungsi sistem saraf. Bahan kimia pemberi sinyal yang disebut neurotransmitter, juga bergantung pada kehadiran sejumlah nutrisi. Di antaranya adalah triptofan serta vitamin B-6, B-12, B-1, B-3, B-5 dan vitamin C. Kekurangan salah satu nutrisi ini dapat menghambat kemampuan tubuh untuk mensintesis neurotransmiter, dan pada gilirannya mengganggu komunikasi dalam sistem saraf. Beberapa nutrisi juga membuat sinyal elektrokimia yang mengirimkan impuls saraf. Setelah terjadi pelepasan sel neurotransmitter untuk memulai sinyal otak, sel-sel di dekatnya merespon dengan menghasilkan sinyal listrik yang disebut tindakan action, yang terlihat dalam berbagai tanggapan seperti ingatan memori, emosi atau gerakan. Mineral natrium dan kalium berkontribusi potensial aksi. Kekurangan natrium atau kalium yang parah dapat memengaruhi fungsi otak dan mendapatkan asupan dalam jumlah yang cukup dari mineral tersebut penting untuk kesehatan sistem saraf. Sumber gambar
sinyalsinyal pada sel sel saraf disampaikan melalui sinyal listrik. sinyal listrik ini dapat terjadi karena adanya perbedaan muatan di dalam dan luar sel. perbedaan muatan ini dapat diukur menggunkan voltmeter yang terhubung dengan elektroda pembanding dan mikro elektroda perekam
Stunting merupakan masalah kesehatan utama yang dapat menghambat masa depan bangsa. Hal tersebut terindikasi dari tingginya prevalensi stunting serta dampak buruk yang ditimbulkan. Tujuan review ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age yang menyebabkan kejadian stunting pada balita di negara berkembang termasuk Indonesia. Pencarian secara sistematik dari literature 2015-2020 menggunakan Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, Plos One. Kata kunci pencarian pemberian nutrisi, masa golden age, balita, stunting, negara berkembang. Peneliti memperoleh 28 artikel final yang dianalisis sesuai kriteria. Hasil menggambarkan faktor penyebab kejadian stunting terjadi sejak kehamilan akibat kekurangan nutrisi pada masa tersebut, inisiasi menyusui dini kurang dari 1 jam kelahiran maupun tidak sama sekali, pemberian ASI terhenti Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1764 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 Volume 5 Issue 2 2021 Pages 1764-1776 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini ISSN 2549-8959 Online 2356-1327 Print Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang Meri Anggryni1, Wiwi Mardiah2, Yanti Hermayanti3, Windy Rakhmawati4, Gusgus Graha Ramdhanie5, Henny Suzana Mediani6 Keperawatan Anak, Universitas Padjadjaran DOI Abstrak Stunting merupakan masalah kesehatan utama yang dapat menghambat masa depan bangsa. Hal tersebut terindikasi dari tingginya prevalensi stunting serta dampak buruk yang ditimbulkan. Tujuan review ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age yang menyebabkan kejadian stunting pada balita di negara berkembang termasuk Indonesia. Pencarian secara sistematik dari literature 2015-2020 menggunakan Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, Plos One. Kata kunci pencarian pemberian nutrisi, masa golden age, balita, stunting, negara berkembang. Peneliti memperoleh 28 artikel final yang dianalisis sesuai kriteria. Hasil menggambarkan faktor penyebab kejadian stunting terjadi sejak kehamilan akibat kekurangan nutrisi pada masa tersebut, inisiasi menyusui dini kurang dari 1 jam kelahiran maupun tidak sama sekali, pemberian ASI terhenti 12 bulan, dan makanan yang diberikan tidak bervariasi dengan frekuensi dan tekstur yang tidak sesuai usia. Kata Kunci balita; indonesia; masa golden age; negara berkembang; pemberian nutrisi; stunting Abstrak Stunting is a major health problem that can hinder the future of the nation. This is indicated by prevalence of stunting and its adverse effects. The purpose of this review is to identify the nutritional factors during the golden age that cause stunting in children under five in developing countries, including Indonesia. Systematic search of the 2015-2020 literature using Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, Plos One. Keyword search nutrition, golden age, toddler, stunting, developing countries. The researcher obtained 28 final articles which were analyzed according to the criteria. The results describe the factors that cause stunting occurring since pregnancy due to nutritional deficiencies at that time, early initiation of breastfeeding less than 1 hour of birth or not , stopping breastfeeding 12 months, and the food given did not vary with frequency and texture that was not age-appropriate Keywords developing countries; golden age; nutrition practice; stunting; toddlers. Copyright c 2021 Meri Anggryni, Wiwi Mardiah, Yanti Hermayanti,Windy Rakhmawati, Gusgus Graha Ramdhanie, Henny Suzana Mediani  Corresponding author Email Address Bandung, Indonesia Received 14 December 2020, Accepted 31 December 2020, Published 9 Januari 2021 Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1765 PENDAHULUAN Stunting merupakan masalah kesehatan utama yang dapat menghambat masa depan bangsa. Hal tersebut diindikasikan berdasarkan standar WHO, yakni 20% atau seperlima dari jumlah total balita. Berdasarkan prevalensi secara global, terdapat sebanyak 22,9% atau 154,8 juta anak balita dengan kasus tersebut dan menjadi 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di tahun 2017. Kondisi tersebut terpusat di negara miskin 35,2% dan negara berkembang 22,4%, yang tersebar di Asia dengan prevalensi 56% dan Afrika 39%. Kondisi demikian kebanyakan ditemukan di negara berkembang dari kedua benua, dimana dari 88 negara dengan kasus tertinggi, empat diataranya merupakan negara berkembang, yakni India 48%, Pakistan 42%, Nigeria 41% dan Indonesia 37% tahun 2007 [36,8%], tahun 2010[ 35,6%], tahun 2013 [37,2 %] dan tahun 2018 [30,8%] United Nations Children’s Fund [UNICEF], World Health Organitation [WHO], World Bank Group [WBG], 2018; Riset kesehatan dasar [Riskesdas], 2013-2018. Kondisi ini tidak dapat diabaikan. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan kesadaran pentingnya penanganan masalah ini, masyarakat dan pemerintah perlu mengetahui dampak yang ditimbulkan kondisi tersebut. Selain prevalensi tersebut, dampak akibat stunting juga dapat menghambat masa depan bangsa. Pada dampak jangka pendek, anak dapat mengalami gangguan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang, dapat menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, risiko tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke dan disabilitas pada usia tua, meningkatkan risiko penyakit dan kematian perinatal-neonatal, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif dan akan menghasilkan rendahnya kualitas sumber daya manusia SDM yang berakibat pada rendahnya produktifitas ekonomi. Apriluana & Fikawati, 2018; Anugraheni & Kartasurya, 2012; Hossain et al., 2017; Kemenkes, 2018; Dewey & Begum, 2011; De Onis et al., 2012; Mediani, 2020; Kemenkes RI, 2016; Izwardy, 2019, Helmyati, 2019; Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bapennas], 2018. Sehingga, diperlukan upaya penanganan yang serius dari berbagai pihak, untuk dapat mencegah dan mengurangi dampak yang dialami balita dengan kondisi tersebut. Sampai saat ini, pemerintah masih berupaya dalam penurunan stunting. Dimulai dari penetapan tujuan pembangunan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB yang dikenal dengan The Sustainable Development Goals SDG’s yang salah satu tujuannya berupa penurunan stunting dan wasting pada balita di seluruh dunia, serta merupakan target internasional tahun 2030 United Nation Development Programme [UNDP], 2018 Sebagai bentuk realisasi, WHO 2014 dan UNICEF 2013 membuat kerangka kerja yang mengelompokkan faktor-faktor risiko kedalam tiga kelompok yakni; 1 faktor distal meliputi, politik dan ekonomi, pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial budaya, sistem pertanian dan makanan, serta air, sanitasi dan lingkungan; 2 intermediate factors yaitu, faktor rumah tangga yang meliputi, jumlah dan kualitas makanan yang tidak adekuat, sumber daya yang rendah, ukuran dan struktur keluarga, praktik yang tidak memadai, perawatan kesehatan yang tidak memadai, layanan air dan sanitasi yang tidak memadai, 3 faktor proksimal meliputi pemberian nutrisi, faktor ibu dan lingkungan, faktor anak, dan faktor infeksi. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dapat dilakukan melalui faktor-faktor risiko langsung penyebab stunting. Namun untuk itu, dibutuhkan intervensi yang terstruktur untuk merealisasikan upaya tersebut. Sebagai bentuk keseriusan dalam pencegahan dan penanganan stunting, pemerintah membentuk dua intervensi gizi, yakni intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif TNP2K, 2017; Trihono, 2015. Intervensi gizi spesifik ditunjukkan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-23 bulan. Intervensi ini merujuk pada intervensi yang langsung menangani faktor penentu gizi janin serta gizi anak, mulai dari pemenuhan nutrisi selama kehamilan hingga pemberian makanan tambahan International Food Policy Research Sience Review [IFPRI], 2016. Sedangkan, intervensi gizi sensitif ditunjukkan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sehingga, perawat sebagai ujung tombok Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1766 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 kesehatan dapat membantu percepatan penanganan kondisi tersebut dengan menyukseskan program intervensi gizi spesifik khususnya pemberian nutrisi pada masa 1000 hari pertama kehidupan Masa golden age. Namun untuk itu, perawat perlu mengetahui faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age secara komprehensif. Berdasarkan literatur, stunting dapat terjadi sejak 1000 hari pertama kehidupan, mulai dari 270 hari janin didalam kandungan sampai 720 hari pertama kelahiran Schmidt, 2014; Ikatan Dokter Anak Indonesia [IDAI], 2015. Pada masa kehamilan, pemberian nutrisi pada janin bergantung sepenuhnya pada kecukupan gizi ibu hamil. Kondisi tersebut dinilai dari status gizi ibu hamil, yang diukur menggunakan lingkar lengan atas LILA. Pengukuran tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah ibu mengalami kekurangan gizi, khususnya kekurangan energi kronis Ferial, 2012. Menurut data Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Indonesia tahun 2013-2018, terdapat 24,2% Ibu hamil di tahun 2013 mengalami kekurangan energi kronis dan menjadi 17,3% pada 2018. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat KEK pada ibu hamil dapat mengakibatkan janin didalam kandungan mengalami kekurangan asupan nutrisi diawal kehidupan yang berdampak pada pertumbuhan janin. Pertumbuhan janin didalam kandungan melalui tiga tahapan yang terbagi kedalam tiga trimester. Pada trimester pertama, pertumbuhan janin masih lambat, peningkatan kebutuhan zat gizi masih relatif kecil. Pada tahap ini, ibu hamil memasuki masa anabolisme yaitu masa untuk menyimpan zat gizi sebanyak-banyaknya dari makanan yang dikonsumsi setiap hari untuk cadangan trimester berikutnya Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010. Untuk itu, penting memperhatikan kandungan makanan yang dikonsumsi ibu selama fase ini. Demikian pula pada trimester kedua. Pada tahap ini, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan trimester sebelumnya. Kecepatan pertumbuhan mencapai 10 gram per hari, susunan saraf otak berkembang sampai 90%, lengan, tangan, kaki, jari dan telinga mulai terbentuk, denyut jantung janin mulai terdengar, serta penyimpanan lemak sebagai cadangan pembentuk Air Susu Ibu ASI dimulai Marmi, 2013; Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010; Almatsier, 2011. Pada tahapan ini, terjadi peningkatan kebutuhan energi untuk metabolisme tubuh janin. Sehingga, ibu dianjurkan untuk meningkatkan asupan gizi dibandingkan sebelumnya. Begitupun pada trimester ketiga. Pada masa ini, kebutuhan asupan nutrisi dari simpanan cadangan energi ibu selama tahap sebelumnya semakin meningkat. Karena pada tahap ini, janin tumbuh menjadi dua kali panjang sebelumnya dan berat badan bertambah kurang lebih lima kali dari berat semula Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010. Untuk itu, status gizi ibu di trimester sebelumnya harus baik, dan didukung dengan memaksimalkan kebutuhan asupan gizi di trimester ini. Setelah melalui ketiga tahapan tersebut, janin akan keluar dari rahim ibu melalui proses persalinan. Sesaat setelah proses tersebut, bayi harus segera diberikan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya. Proses pemberian nutrisi tersebut diberikan melalui pemberian Inisiasi Menyusui Dini IMD, yakni pemberian air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah lahir. Dalam proses tersebut, bayi akan melakukan gerakan menghisap yang dapat merangsang hormon oksitoksin mengencangkan otot halus pada sekitar alveoli untuk memeras ASI menuju saluran susu IDAI, 2015. Untuk itu, pemberian inisiasi menyusui dini harus diberikan dan tidak boleh tertunda. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013-2018, pemberian nutrisi segera setelah lahir pada anak di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari rata-rata bayi yang memperoleh inisiasi menyusui dini sesuai rekomendasi WHO yakni ≥1 jam setelah lahir, hanya sebanyak 15,9%. Padahal, dengan pemberian IMD bayi dapat memperoleh kolestrum, yakni ASI yang kaya akan daya tahan tubuh, antibodi terhadap infeksi, pertumbuhan usus dan asupan gizi yang penting untuk pertumbuhan anak Permadi et al., 2017. Serta, dapat menstimulus ASI keluar dengan baik, dan membantu keberhasilan pemberian ASI eksklusif Apriluana & Fikawati, 2018 Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1767 Memasuki usia 0-6 bulan, pemberian nutrisi sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI eksklusif. Indikasi eksklusif jika bayi hanya diberikan ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus ataupun susu, kecuali obat, vitamin dan mineral Millenium challenge count [MAC] Indonesia, 2013; IDAI, 2015. Berdasarkan literature, pemberian ASI eksklusif dapat memenuhi kebutuhan asupan gizi bayi selama 6 bulan pertama, sampai mencapai tumbuh kembang yang optimal IDAI, 2015. Sehingga, pemenuhan nutrisi pada masa ini cukup hanya dengan ASI eksklusif. Namun, hal tersebut sepertinya belum dianggap penting oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini terlihat dari data Riskesdas tahun 2013-2018. Dimana, hanya 21,2% bayi pada tahun 2013 yang memperoleh ASI eksklusif, dan pada tahun 2018 menjadi 37,3%. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan merugikan bayi dan keluarga. Untuk itu, diperlukan upaya dalam meningkatkan hal tersebut. Selanjutnya, pemberian nutrisi dengan ASI pada anak usia 6-12 hanya mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi sebanyak 60%, dan 40% nya harus dipenuhi dengan makanan pendamping ASI MP-ASI. Makanan tersebut membantu bayi memperoleh energi yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangannya Mufida, 2015. Pemberian makanan tambahan harus dilakukan dengan sesuai ketentuan yang ada, jika pemberian tidak tepat anak dapat mengalami kekurangan nutrisi. Pentingnya hal tersebut, sepertinya belum diperhatikan oleh masyarakat di negara berkembang. Hal ini terlihat dari hasil Riskesdas tahun 2013, terdapat 79,8% anak di Indonesia diberikan makanan tambahan terlalu dini pada usia 0-5 bulan, dan menjadi 42,3% pada tahun 2018. Hal ini tidak dapat dibiarkan, karena dapat mengakibatkan anak kekurangan asupan gizi pada anak di usia ini, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dimasa depan. Untuk itu, pemberian makanan harus dilakukan tepat waktu dan diberikan dalam jumlah cukup sesuai kebutuhan anak. Berdasarkan data pemberian nutrisi tersebut, diketahui pentingnya pemberian nutrisi di tiap tumbuh kembang anak selama masa golden age. Serta, rendahnya pemberian nutrisi pada masa golden age di Indonesia dan Negara Berkembang. Hal ini dapat menjadi indikasi tingginya prevalensi kejadian stunting pada balita di negara tersebut. Namun untuk dapat memastikan hal tersebut, dibutuhkan penelitian secara komprehensif pada faktor-faktor pemberian nutrisi dengan kejadian stunting pada balita. Penelitian tentang pemberian nutrisi yang telah dilakukan sejauh ini berupa pemberian nutrisi pada masa tertentu atau terpisah, yakni pemberian nutrisi pada ibu hamil saja, pemberian IMD sampai pemberian ASI eksklusif, pemberian ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI, atau pemberian IMD sampai pemberian MP-ASI Kismul et al., 2017; Fitri & Ernita, 2019; Mediani, 2020; Nadiyah, Briawan dan Martianto, 2014. Sedangkan untuk penelitian faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan negara berkembang secara sistematik review belum pernah dilakukan. Untuk itu, peneliti merasa penelitian sistematik review penting untuk dilakukan, guna mengetahui faktor-faktor pemberian nutrisi dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan negara berkembang secara komprehensif sehingga diperoleh upaya pencegahan dan penanganan dampak stunting yang aplikatif dan efektif. METODOLOGI Merupakan sebuah penelitian sistematik review, menggunakan The Centre for Review and Dissemination and the Joanna Briggs Institute JBI Guideline sebagai panduan dalam menganalisa kualitas artikel. Penelusuran menggunakan Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, dan Plos One dengan kata kunci“nutrition practice, golden age, child under five year of age, stunting. Kriteria seleksi mengikuti format PEO. Population Ibu dengan anak stunting usia 0-59 bulan. Exposure pemberian nutrisi pada masa golden age. Outcome Stunting. Penelusuran dilakukan pada artikel yang diteliti tahun 2015-2020 di negara berkembang termasuk Indonesia. Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1768 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 Alur penyeleksian menggunakan PRISMA, sebanyak 28 artikel yang memenuhi kriteria kelayakan dianalisis secara desktiptif melalui naratif sintesis dalam mensintesis hasil artikel yang diperoleh. Artikel diperoleh dari berbagai negara yang termasuk kedalam negara berkembang yakni 17 artikel dari Indonesia, 1 artikel dari Kamboja, 2 artikel dari India dan Pakistan, 1 artikel dari Thailand, 1 artikel dari Cina, 1 artikel dari Urganda, dan 1 artikel dari Armenia, serta 4 artikel dari Ethiopia. Artikel tersebut diperoleh dari jurnal Plos One 3 artikel, dan dari database Pubmed 4 artikel, Proquest 3 artikel, dan Taylor and Francis 1 artikel, serta diperoleh juga dari search engine Google Schoolar 17 artikel. Untuk artikel penelitian yang paling banyak melibatkan responden adalah penelitian yang dilakukan Cetthakrikul et al., 2018 di Thailand dengan 7018 responden anak diatas 12 bulan, dan responden paling sedikit sebanyak 40 responden dalam penelitian Prabandari et al., 2017di Indonesia. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1. Bagan 1 Alur Penelitian Melalui Proses Seleksi HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Status Gizi Ibu hamil Status gizi ibu hamil menjadi tolak ukur kecukupan gizi janin selama didalam kandungan. Hal ini dikarenakan, pemenuhan nutrisi janin selama 270 hari didalam kandungan bergantung penuh pada asupan gizi ibu. Oleh karena itu, ibu harus mampu memenuhi kebutuhan nutrisi selama kehamilan demi tercapainya tumbuh kembang janin yang optimal. Hal tersebut, sesuai dengan hasil review dari penelitian Som et al., 2018, menunjukkan praktik pemenuhan makan pada ibu hamil yang tidak memenuhi standar dan tidak meningkatkan asupan makan selama kehamilan menjadi penyebab stunting di kamboja. Records identified through databases, search engines and journal searching n Additional records identified Records after duplicates removed n =1,230 assessed for eligibility n = 36 Full-text articles excluded, Studies include criteria n=28 Records excluded n = 75 Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1769 Hasil tersebut sejalan dengan Situmeang et al., 2020; Alfarisi et al., 2019 dimana terdapat hubungan signifikan antara asupan energi dan asupan protein dengan kejadian stunting di Indonesia OR=0,215; OR=0,354, dan apabila ibu mengalami kekurangan energi kronis selama kehamilan akan melahirkan anak dengan risiko 2,2 kali lebih besar mengalami stunting. Berdasarkan literatur, pemenuhan nutrisi yang direkomendasikan pada ibu hamil dengan berat badan normal adalah mengkonsumsi 1800 kalori pada trimester pertama, 2200 kalori pada trimester kedua, dan 2400 kalori pada trimester ketiga. Serta diperlukan penambahan energi sebanyak 150 kalori dan protein 17 gr di trimester pertama. Pada trimester kedua penambahan energi meningkat menjadi 300 kalori, protein 17 gr pada trimester kedua dan Fe 9 mg. Sedangkan pada trimester ketiga penambahan kebutuhan energi masih sama yakni 300 kalori, protein 17gr, dan peningkatan Fe 13 mg. Serta dianjurkan mengkonsumsi asam folat 600 mcg, Vitamin B12 +0,2 ug, Ca +150 mg, dan serat >25 gr per hari selama kehamilan Damayanti et al., 2017. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi selama kehamilan, ibu dapat mengalami kekurangan asupan gizi yang apabila dibiarkan dapat mengakibatkan janin didalam kandungan lahir dengan manifestasi tubuh stunting. Penelitian terkait pemenuhan nutrisi janin dilakukan oleh Dhaded et al., 2020 Penelitian tersebut dilakukan pada komunitas miskin sumber daya di India dan Pakistan dengan memberikan suplemen zat besi-folat pada wanita usia subur dan ibu hamil pada trimester pertama. Hasil penelitian menunjukkan pemenuhan nutrisi prakonsepsi 3 bulan sebelum konsepsi dan pada trimester pertama dikaitkan dengan penurunan stunting sebanyak 44%. Hasil tersebut cukup rendah mengingat pemberian suplemen telah dilakukan 3 bulan sebelum konsepsi. Hal tersebut bisa saja terjadi karena rendahnya kemampuan ibu memperoleh makanan yang cukup gizi akibat keterbatasan ekonomi dan sumber daya. Sehingga, kebutuhan nutrisi janin hanya diperoleh dari suplemen zat besi-folat yang diperoleh selama penelitian berlangsung. Akibatnya, hanya 44% ibu yang diberikan suplemen zat besi-folat mulai dari 3 bulan prakonsepsi sampai trimester pertama yang melahirkan anak tanpa stunting, dan 56% lainnya memiliki anak stunting. Pada penelitian yang sama, Dhaded et al., 2020 menemukan bahwa pertumbuhan janin dapat dicapai dengan peningkatan asupan energi, protein, dan nutrisi mikro dari sebelum dimulainya trimester kedua kehamilan tanpa memerlukan intervensi lain p 0,05. Penelitian ini, hanya mengkaji riwayat KEK pada ibu hamil selama trimester 3, sedangkan riwayat di trimester sebelumnya tidak dikaji. Padahal, status gizi ibu hamil setiap trimester saling mempengaruhi. Sebelum memasuki trimester baru, tubuh ibu akan menyimpan cadangan energi untuk digunakan pada trimester selanjutnya. Sehingga, apabila ibu mengalami KEK pada trimester sebelumnya akan mengakibatkan ibu beresiko mengalami KEK di trimester selanjutnya, terlebih apabila kondisi tersebut tidak segera dikaji dan diperbaiki maka akan mengakibatkan ketidak cukupan energi yang penting untuk metabolisme dan pertumbuhan janin didalam kandungan. Dimana pada trimester ketiga, janin tumbuh menjadi dua kali panjang sebelumnya dan berat badan yang bertambah kurang lebih lima kali dari berat semula Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010. Oleh sebab itu, kekurangan energi kronis selama Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1770 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 trimester tiga akan sangat berpengaruh dengan status gizi bayi terutama PB/U dan dapat mengakibatkan anak mengalami stunting. Faktor Pemberian IMD Setelah melalui 270 hari didalam kandungan, janin akan keluar dari rahim ibu melalui proses persalinan. Sesaat setelah proses tersebut, bayi harus segera diberikan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan tubuh bayi yang diberikan melalui IMD. Pemberian yang dilakukan sedini mungkin, membantu bayi mendapatkan kolostrum yakni baik untuk daya tahan tubuh dan asupan gizi, sehingga anak terhindar dari kejadian stunting. Menurut Angelina, Perdana dan Humairoh 2018 menunjukkan pemberian inisiasi menyusui dini pada balita usia 6-23 bulan berhubungan dengan kejadian stunting p = 0,010 dan OR 3,308 yang artinya anak tidak diberikan inisiasi menyusui dini akan berisiko 3,308 kali mengalami stunting dibandingkan anak yang diberi inisiasi menyusui dini. Begitu pula, Sentana, dan Hasan 2018 penelitian dengan OR sebesar 8,157 Demikian pula, Batiro et al., 2017 di Ethiopia Selatan yang menunjukkan pemberian inisiasi menyusui dini yang terlambat atau setelah satu jam kelahiran merupakan faktor determinan stunting dengan OR=5,16. Penelitian berbeda, Ahmad et al., 2018 di kota Aceh Indonesia yang menunjukkan inisiasi menyusui dini tidak berkaitan dengan kejadian stunting 0,530. Meskipun demikian, pada penelitian Ahmad et al., 2018 proporsi anak yang diberikan IMD namun tetap mengalami stunting sebanyak 47 26,2% dan anak yang tidak diberikan IMD dan mengalami stunting sebanyak 62 29,1%. Hal ini menunjukkan, meskipun hasil analisa data menyatakan tidak ada hubungan IMD dengan kejadian stunting, namun sebagian besar responden yang tidak memperoleh IMD mengalami stunting. Dengan demikian, pemberian IMD diidentifikasi sebagai faktor pemberian nutrisi yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan negara berkembang. Pemberian ASI Eksklusif ASI merupakan makanan ideal yang mengandung asupan protein, membantu mempertahankan pertumbuhan dan memenuhi kebutuhan bayi, serta memberikan perlindungan terhadap infeksi gastrointestinal yang dapat menyebabkan malnutrisi kronis Koletzko, 2015. Pemberian ASI sebaiknya dimulai dari sejak lahir sampai usia 6 bulan. Hal ini didukung oleh penelitian Islam et al., 2018 India yang menunjukkan pemberian ASI eksklusif perlu ditingkatkan pada anak-anak, karena anak dapat mengalami peningkatan stunting sebanyak 24% pada usia 24 bulan yang dimulai sejak dilahirkan. Hasil review juga mengidentifikasi 5 penelitian yang menunjukkan pemberian ASI Eksklusif berhubungan dengan stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Julianti 2020 di Indonesia menunjukkan terdapat hubungan signifikan pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting p= OR= yang artinya anak yang diberikan ASI Eksklusif memiliki 2,28 kali kemungkinan untuk tidak mengalami stunting. Demikian pula, Dewi 2015, Lailatul & Ni’mah., 2015, Nugroho, 2016, dengan OR=3,7. Begitupun, Pandey & Singh 2016 di Distrik India Tengah menunjukkan tingginya kejadian malnutrisi terkait pemberian asi eksklusif dengan OR 2,50-6,53. Hasil review ini juga mengidentifikasi tiga penelitian yang tidak mendukung hasil penelitian sebelumnya Ahmad et al., 2018; Komaruddin et al., 2019; Fekadu et al., 2015. Perbedaan hasil penelitian terkait pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting dikarenakan pada penelitian Komaruddin et al., 2019 sampel penelitian yang diberikan ASI eksklusif memiliki jumlah sampel kecil, meskipun pada hasil penelitian ini tidak ada kaitan dengan kejadia stunting, namun pada penelitian ini ditemukan bukti bahwa menyusui dikaitkan dengan penambahan berat badan dan rendahnya morbiditas stunting pada anak dan memiliki peran dalam pencegahan malnutrisi. Begitupun, Ahmad et al., 2018 yang menunjukkan bahwa anak yang diberikan ASI eksklusif mengalami stunting sebanyak 67 28% anak dan anak yang tidak diberikan ASI eksklusif sebanyak 42 27,6% anak, meskipun Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1771 jumlah anak yang diberi ASI eksklusif lebih banyak yang mengalami stunting namun secara presentasi hanya terdapat perbedaan 0,4% pada anak stunting yang diberikan ASI eksklusif dan tidak eksklusif. Hasil review ini juga mengidentifikasi hubungan antara frekuensi menyusui dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Penelitian Terati et al., 2018 di Indonesia menemukan ada hubungan antara frekuensi menyusui dengan stunting p=0,002. Demikian pula, Tian et al., 2019 di Distrik Changsha China menemukan terhentinya pemberian ASI eksklusif setelah 3 bulan pemberian dan pemberian ASI eksklusif selama 3 bulan dan dilanjutkan pemberian susu formula dan makan pada memiliki tingkat kejadian stunting yang tinggi. Hal ini dikarenakan, pada saat usia 0-6 bulan ASI mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi bayi. Sehingga, pemberian susu formula di usia 3 bulan akan mengurangi perlindungan yang didapat dari ASI eksklusif dan seluruh manfaat ASI yang telah diperoleh sebelumnya. Cetthakrikul et al., 2018 di Thailand menunjukkan, anak yang diberikan ASI eksklusif berkepanjangan yakni lebih dari 12 bulan pada keluarga miskin menjadi penyebab terjadinya stunting. Penelitian dilakukan pada komunitas keluarga miskin, dimana keluarga memiliki keterbatasan perekonomian, sehingga ibu kesulitan memberikan nutrisi yang sesuai kebutuhan anak. Oleh sebab itu, ibu hanya memberikan ASI saja selama 12 bulan. Sedangkan, ASI yang diberikan ibu juga kemungkinan tidak memiliki asupan gizi yang cukup. Pemberian ASI hanya mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi anak sampai usia 6 bulan. Sedangkan setelah memasuki usia 6 bulan lebih, ASI tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, sehingga perlu diberikan makanan tambahan, dengan tetap diberikan ASI hingga usia 24 bulan atau lebih. Oleh sebab itu, pemberian ASI yang berkepanjangan dapat menyebabkan anak mengalami stunting. Hal ini sesuai dengan Julianti 2020 di Indonesia yang menunjukkan, anak yang tidak diberi ASI Eksklusif memiliki 40,9% risiko stunting. Begitupun, Mihrete 2018 di wiliyah Somali State, Ethiopia menunjukkan frekuensi menyusui pada bayi dapat mengurangi risiko bayi stunting. Sehingga, pemberian ASI eksklusif diidentifikasi sebagai salah satu faktor pemberian nutrisi yang berhubungan dengan kejadian stunting. Untuk itu, sebagai upaya pencegahan dan penanganan kondisi tersebut, penting untuk memperhatikan pemberian ASI sesuai dengan indikasi eksklusif. Pemberian MP-ASI Berdasarkan hasil review, pemberian ASI hanya dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi sampai usia 6 bulan, sehingga pada bayi usia 6 bulan-24 bulan perlu dilakukan pemberian Makanan Pendamping ASI untuk mencukupi kebutuhan gizi anak. Hasil penelitian Bukusuba et al., 2017 di Uganda menunjukkan praktik pemberian makan pada bayi dan anak-anak atau infant and young child feeding IYCF yang kurang tepat p0,05. Sama seperti, Khasanah et al., 2016 di Indonesia menunjukkan waktu pertama kali pemberian makanan pendamping ASI berhubungan signifikan dengan kejadian stunting OR=2,867. Demikian pula, Mihrete 2018 di wiliyah Somali State, Ethiopia Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1772 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 menunjukkan pengenalan Makanan Pendamping ASI sebelum 6 bulan signifikan terhadap stunting. Pemberian makanan penamping ASI terlalu dini dapat menyebakan anak tidak memperoleh manfaat ASI eksklusif. Pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini yakni pemberian makan sebelum usia anak lebih dari 6 bulan dapat menyebabkan anak cepat merasa kenyang, namun kebutuhan asupan gizi yang seharusnya belum terpenuhi. Selain itu, anak akan malas untuk menyusu dan menyebabkan anak tidak memperoleh ASI. Padahal, ASI memiliki komposisi gizi yang lengkap, sehingga dapat membantu bayi terhindar dari malnutrisi, merangsang kecerdasan emosional dan fungsi otak maskimal Astutik, 2014; Maryunani, 2012. Hasil review ini juga mengidentifikasi, pemberian Makanan Pendamping ASI yang tidak memperhatikan frekuensi, tekstur, dan waktu pemberian makanan berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Hal ini terlihat dari penelitian Nurdin et al., 2019 di Indonesia yang menunjukkan pemberian Makanan Pendamping ASI yang tidak memperhatikan frekuensi memiliki OR=3,90. Demikian pula, Pandey & Singh 2016 di Distrik India Tengah yang menunjukkan tingginya kejadian malnutrisi akibat kurangnya pemberian makan semi padat, dan pemberian Makanan Pendamping yang jarang dengan OR=3,01-8,39. Demikian pula, Ahmad et al., 2018 di Indonesia menunjukkan Pemberian makanan tambahan yang tepat waktu dan beragam berkaitan dengan kejadian stunting P=0,015. Selain itu, hasil review juga mengidentifikasi pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memperhatikan variasi/keragaman makanan berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Balalian et al., 2017 di Armenia, yang menunjukkan Anak usia 6-24 bulan yang diberikan Makanan Pendamping yang beragam memiliki peluang 72% lebih rendah untuk menjadi stunting p 3 kali dalam seminggu bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting. Simpulan Faktor ibu yaitu pendidikan ibu, riwayat KEK, pola pemberian MPASI, dan pola asuh merupakan faktor risiko kejadian Asia has >50% of the global burden of low birth weight LBW. The objective was to determine the extent to which maternal nutrition interventions commenced before conception or in the 1st trimester improved fetal growth in this region. This was a secondary analysis of combined newborn anthropometric data for the South Asian sites India and Pakistan in the Women First Preconception Maternal Nutrition Trial. Participants were 972 newborn of mothers who were poor, rural, unselected on basis of nutritional status, and had been randomized to receive a daily lipid-based micronutrient supplement commencing ≥3 months prior to conception Arm 1, in the 1st trimester Arm 2, or not at all Arm 3. An additional protein-energy supplement was provided if BMIQianling TianXiao GaoTingting ShaYan YanObjective This study was aimed to examine the effect of feeding patterns on growth and nutritional status of children aged 0~24 months. Methods We conducted a cohort study with an initial sample of 927 children. Considering the follow-up losses, 903, 897, 895, 897, 883, 827 and 750 children were followed up at 1, 3, 6, 8, 12, 18 and 24 months, respectively. Children were grouped according to exclusive breastfeeding EBF duration in the first 6 months 1 never EBF; 2 EBF ≤ 3 months EBF ≤ 3 months and stopped BF after 3 months or EBF ≤ 3 months and BF = 6 months or EBF ≤ 3 months and BF after 3 months, had formula and/or solids; 3 EBF for 3 ~ 6 months BF 70% of the children were not meeting the minimum acceptable diet, and most of the women did not improve their diet during pregnancy. Inadequate nutrition during the first 1000 days is highly prevalent in Cambodia. A comprehensive national Mother, Infant and Young Child Nutrition strategy needs to be developed and operationalized to improve feeding practices of Cambodian women and SD SitumeangEtti Sudaryati Mira JumirahStunting is a chronic nutritional problem due to insufficient intake for a long time, in Indonesia the prevalence is high. The World Health Organization WHO classifies if the length/height z score is below −2 SD. The purpose of this study was to analyze the correlation between parenting, and nutrient intake energy and protein with stunting in children aged 24-59 years. This study used a cross sectional design with a sample of 117 children. Data collection was carried out with questionnaire instruments for parenting, and 24-hour food recall for nutritional intake. Data stunting was performed by comparing the height of the children measured by the WHO growth standards. Correlation analysis using Pearson correlation analysis. The results showed that the prevalence of stunting for children aged 24-59 months was There was a significant correlation between parenting with stunting r = and p = energy intake with stunting r = and p = and protein intake with stunting r = and p = It is recommended that the Ministry of Health improve nutrition surveillance programs, and encourage the community to monitor the growth of children under five years every month in health services.
Neuronadalah sel saraf yang bertanggung jawab seperti kabel listrik, ia menghantarkan sinyal listrik ke seluruh tubuh manusia. Dilansir dari Medical Express, manusia memiliki sistem saraf yang berisikan 100 miliar neuron yang saling berhubungan. Baca juga: Syaraf Rusak, Triyono Lumpuh Sejak Bayi, Tubuhnya Menyusut dan Kaku.

Sistem saraf Sistem saraf manusia. Rincian Pengidentifikasi Bahasa Latin systema nervosum MeSH D009420 TA98 FMA 7157 Daftar istilah anatomi [sunting di Wikidata] Sistem saraf adalah sistem organ yang terdiri atas serabut saraf yang tersusun atas sel-sel saraf yang saling terhubung dan esensial untuk persepsi sensoris indrawi, aktivitas motorik volunter dan involunter organ atau jaringan tubuh, dan homeostasis berbagai proses fisiologis tubuh. Sistem saraf merupakan jaringan paling rumit dan paling penting karena terdiri dari jutaan sel saraf neuron yang saling terhubung dan vital untuk perkembangan bahasa, pikiran dan ingatan. Satuan kerja utama dalam sistem saraf adalah neuron yang diikat oleh sel-sel glia. Sistem saraf pada vertebrata secara umum dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat SSP dan sistem saraf tepi SST. SSP terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. SST utamanya terdiri dari saraf tepi, yang merupakan serat panjang yang menghubungkan SSP ke setiap bagian dari tubuh. SST meliputi saraf motorik, yang memediasi pergerakan-pergerakan volunter disadari, sistem saraf otonom, meliputi sistem saraf simpatis, sistem saraf parasimpatis, dan fungsi regulasi pengaturan involunter tanpa disadari dan sistem saraf enterik pencernaan, sebuah bagian yang semi-bebas dari sistem saraf yang fungsinya adalah untuk mengontrol sistem pencernaan. Pada tingkatan seluler, sistem saraf didefinisikan dengan keberadaan jenis sel khusus, yang disebut neuron, yang juga dikenal sebagai sel saraf. Neuron memiliki struktur khusus yang mengizinkan neuron untuk mengirim sinyal secara cepat dan presisi ke sel lain. Neuron mengirimkan sinyal dalam bentuk gelombang elektrokimia yang berjalan sepanjang serabut tipis yang disebut akson, yang mana akan menyebabkan bahan kimia yang disebut neurotransmitter dilepaskan di pertautan yang dinamakan sinaps. Sebuah sel yang menerima sinyal sinaptik dari sebuah neuron dapat tereksitasi, terhambat, atau termodulasi. Hubungan antara neuron membentuk sirkuit neural yang membuat persepsi organisme dari dunia dan menentukan tingkah lakunya. Bersamaan dengan neuron, sistem saraf mengangung sel khusus lain yang dinamakan sel glia atau sederhananya glia, yang menyediakan dukungan struktural dan metabolik. Sistem saraf ditemukan pada kebanyakan hewan multiseluler, tetapi bervariasi dalam kompleksitas.[1] Hewan multiseluler yang tidak memiliki sistem saraf sama sekali adalah porifera, placozoa dan mesozoa, yang memiliki rancangan tubuh sangat sederhana. Sistem saraf ctenophora dan cnidaria contohnya, anemon, hidra, koral dan ubur-ubur terdiri dari jaringan saraf difus. Semua jenis hewan lain, terkecuali beberapa jenis cacing, memiliki sistem saraf yang meliputi otak, sebuah central cord atau 2 cords berjalan paralel, dan saraf yang beradiasi dari otak dan central cord. Ukuran dari sistem saraf bervariasi dari beberapa ratus sel dalam cacing tersederhana, sampai pada tingkatan 100 triliun sel pada manusia. Pada tingkatan paling sederhana, fungsi sistem saraf adalah untuk mengirimkan sinyal dari satu sel ke sel lain, atau dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain. Sistem saraf rawan terhadap malafungsi dalam berbagai cara, sebagai hasil cacat genetik, kerusakan fisik akibat trauma atau racun, infeksi, atau penuaan. Kekhususan penelitian medis di bidang neurologi mempelajari penyebab malafungsi sistem saraf, dan mencari intervensi yang dapat mencegahnya atau memperbaikinya. Dalam sistem saraf perifer/tepi SST, masalah yang paling sering terjadi adalah kegagalan konduksi saraf, yang mana dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab termasuk neuropati diabetik dan kelainan demyelinasi seperti sklerosis ganda dan sklerosis lateral amiotrofik. Ilmu yang memfokuskan penelitian/studi tentang sistem saraf adalah neurosains. Struktur [sunting sunting sumber] Nama sistem saraf berasal dari “saraf”, yang mana merupakan bundel silinder serat yang keluar dari otak dan central cord, dan bercabang-cabang untuk menginervasi setiap bagian tubuh.[2] Saraf cukup besar untuk dikenali oleh orang Mesir, Yunani dan Romawi Kuno,[3] tetapi struktur internalnya tidaklah dimengerti sampai dimungkinkannya pengujian lewat mikroskop.[4] Sebuah pemeriksaan mikroskopik menunjukkan bahwa saraf utamanya terdiri dari akson dari neuron, bersamaan dengan berbagai membran selubung yang membungkus saraf dan memisahkan mereka menjadi fasikel. Neuron yang membangkitkan saraf tidak berada sepenuhnya di dalam saraf itu sendiri; badan sel mereka berada di dalam otak, central cord, atau ganglia perifer tepi.[2] Seluruh hewan yang lebih tinggi tingkatannya daripada porifera memiliki sistem saraf. Namun, bahkan porifera, hewan uniseluler, dan non-hewan seperti jamur lendir memiliki mekanisme pensinyalan sel ke sel yang merupakan pendahulu neuron.[5] Dalam hewan simetris radial seperti ubur-ubur dan hidra, sistem saraf terdiri dari jaringan difus sel terisolasi.[6] Dalam hewan bilateria, yang terdiri dari kebanyakan mayoritas spesies yang ada, sistem saraf memiliki stuktur umum yang berasal awal periode Kambrium, lebih dari 500 juta tahun yang lalu.[7] Sel [sunting sunting sumber] Sistem saraf memiliki 2 kategori atau jenis sel neuron dan sel glia. Neuron [sunting sunting sumber] Sel saraf didefinisikan oleh keberadaan sebuah jenis sel khusus— neuron kadang-kadang disebut “neurone” atau “sel saraf”.[2] Neuron dapat dibedakan dari sel lain dalam sejumlah cara, tetapi sifat yang paling mendasar adalah bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan sel lain melalui sinaps, yaitu pertautan membran-ke-membran yang mengandung mesin molekular dan mengizinkan transmisi sinyal cepat, baik elektrik maupun kimiawi.[2] Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke sel saraf yang lain atau ke jaringan lain. Akson biasanya sangat panjang. Sebaliknya, dendrit pendek. Setiap neuron hanya mempunyai satu akson dan minimal satu dendrit. Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel. Pada bagian luar akson terdapat lapisan lemak disebut mielin yang dibentuk oleh sel Schwann yang menempel pada akson. Sel Schwann merupakan sel glia utama pada sistem saraf perifer yang berfungsi membentuk selubung mielin. Fungsi mielin adalah melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari akson yang tidak terbungkus mielin disebut nodus Ranvier, yang dapat mempercepat penghantaran impuls. Bahkan dalam sistem saraf spesies tunggal seperti manusia, terdapat beratus-ratus jenis neuron yang berbeda, dengan bentuk, morfologi, dan fungsi yang beragam.[8] Ragam tersebut meliputi neuron sensorik yang mentransmisikan stimuli fisik seperti cahaya dan suara menjadi sinyal saraf, dan neuron motorik yang mentransmisikan sinyal saraf menjadi aktivasi otot atau kelenjar; namun dalam kebanyakan spesies kebanyakan neuron menerima seluruh masukan mereka dari neuron lain dan mengirim keluaran mereka pada neuron lain.[2] Sel Glia [sunting sunting sumber] Sel glia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “lem” adalah sel non-neuron yang menyediakan dukungan dan nutrisi, mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, dan berpartisipasi dalam transmisi sinyal dalam sistem saraf.[9] Dalam otak manusia, diperkirakan bahwa jumlah total glia kasarnya hampir setara dengan jumlah neuron, walaupun perbandingannya bervariasi dalam daerah otak yang berbeda.[10] Di antara fungsi paling penting dari sel glia adalah untuk mendukung neuron dan menahan mereka di tempatnya; untuk menyediakan nutrisi ke neuron; untuk insulasi neuron secara elektrik; untuk menghancurkan patogen dan menghilangkan neuron mati; dan untuk menyediakan petunjuk pengarahan akson dari neuron ke sasarannya.[9] Sebuah jenis sel glia penting oligodendrosit dalam susunan saraf pusat, dan sel Schwann dalam sistem saraf tepi menghasilkan lapisan sebuah substansi lemak yang disebut mielin yang membungkus akson dan menyediakan insulasi elektrik yang mengizinkan mereka untuk mentransmisikan potensial aksi lebih cepat dan lebih efisien. Macam-macam neuroglia di antaranya adalah astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan makroglia . Anatomi pada vertebrata [sunting sunting sumber] Diagram yang menunjukkan pembagian utama dari sistem saraf vertebrata. Sistem saraf dari hewan vertebrata termasuk manusia dibagi menjadi sistem saraf pusat SSP dan sistem saraf tepi SST.[11] Sistem saraf pusat SSP adalah bagian terbesar, dan termasuk otak dan sumsum tulang belakang.[11] Kavitas tulang belakang mengandung sumsum tulang belakang, sementara kepala mengandung otak. SSP tertutup dan dilindungi oleh meninges, sebuah sistem membran 3 lapis, termasuk lapisan luar berkulit yang kuat, yang disebut dura mater. Otak juga dilindungi oleh tengkorak, dan sumsum tulang belakang oleh vertebra tulang belakang. Sistem saraf tepi SST adalah terminologi/istilah kolektif untuk struktur sistem saraf yang tidak berada di dalam SSP.[12] Kebanyakan mayoritas bundel akson disebut saraf yang dipertimbangkan masuk ke dalam SST, bahkan ketika badan sel dari neuron berada di dalam otak atau spinal cord. SST dibagi menjadi bagian somatik dan viseral. Bagian somatik terdiri dari saraf yang menginervasi kulit, sendi, dan otot. Badan sel neuron sensorik somatik berada di dorsal root ganglion sumsum tulang belakang. Bagian viseral, juga dikenal sebagai sistem saraf otonom, mengandung neuron yang menginervasi organ dalam, pembuluh darah, dan kelenjar. Sistem saraf otonom sendiri terdiri dari 2 bagian sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Beberapa penulis juga memasukkan neuron sensorik yang badan selnya ada di perifer untuk indra seperti pendengaran sebagai bagan dari SST; namun yang lain mengabaikannya.[13] Potongan horisontal kepala perempuan dewasa yang menunjukkan kulit, tengkorak, dan otak dengan grey matter coklat dalam gambar ini dan white matter yang berada di bawahnya. Sistem saraf vertebrata juga dapat dibagi menjadi daerah yang disebut grey matter “gray matter” dalam ejaan Amerika dan white matter.[14] Grey matter yang hanya berwarna abu-abu bila disimpan, dan berwarna merah muda pink atau coklat muda dalam jaringan yang hidup mengandung proporsi tinggi badan sel neuron. White matter komposisi utamanya adalah akson bermielin, dan mengambil warnanya dari mielin. White matter meliputi seluruh saraf dan kebanyakan dari bagian dalam otak dan sumsum tulang belakang. Grey matter ditemukan dalam kluster neuron dalam otak dan sumsum tulang belakang, dan dalam lapisan kortikal yang menggarisi permukaan mereka. Ada perjanjian anatomis bahwa kluster neuron dalam otak atau sumsum tulang belakang disebut nukleus, sementara sebuah kluster neuron di perifer disebut ganglion.[15] Namun ada beberapa perkecualian terhadap aturan ini, yang tercatat termasuk bagian dari otak depan yang disebut basal ganglia.[16] Anatomi perbandingan dan evolusi [sunting sunting sumber] Pendahulu saraf dalam porifera [sunting sunting sumber] Porifera tidak memiliki sel yang berhubungan dengan satu sama lain dengan pertautan sinaptik, yaitu tidak ada neuron, dan oleh karena itu tidak ada sistem saraf. Namun, mereka memiliki homolog dari banyak gen yang memainkan peran penting dalam fungsi sinaptik. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa sel porifera mengekspresikan sekelompok protein yang berkelompok bersama membentuk struktur yang mirip dengan sebuah densitas postsinaptik bagian sinaps yang menerima sinyal.[5] Namun, fungsi struktur ini saat ini masih belum jelas. Walaupun sel porifera tidak menunjukkan transmisi sinaptik, mereka berkomunikasi dengan satu sama lain melalui gelombang kalsium dan impuls lain, yang memediasi beberapa aksi sederhana seperti kontraksi seluruh tubuh.[17] Radiata [sunting sunting sumber] Ubur-ubur, jelly sisir, dan hewan lain yang berhubungan memiliki jaringan saraf difus daripada sebuah sistem saraf pusat. Dalam kebanyakan ubur-ubur, jaringan saraf tersebar kurang lebih merata di seluruh tubuh; dalam jelly sisir jaringan saraf terkonsentrasi dekat dengan mulut. Jaringan saraf terdiri dari neuron sensorik, yang mengambil sinyal kimia, taktil, dan visual; neuron motorik, yang dapat mengaktivasi kontraksi dinding tubuh; dan neuron intermediat, yang mendeteksi pola aktivitas dalam neuron sensorik, dan dalam respons, mengirim sinyal ke kelompok neuron motorik. Dalam beberapa kasus, kelompok neuron sedang berkelompok menjadi ganglia yang berlainan.[6] Perkembangan sistem saraf dalam radiata relatif tidak terstruktur. Tidak seperti bilateria, radiata hanya memiliki dua lapisan sel primordial, endoderm dan ektoderm. Neuron dihasilkan dari sebuah sel khusus dari sel pendahulu ektodermal, yang juga bertindak sebagai pendahulu untuk setiap jenis sel ektodermal lain.[18] Bilateria [sunting sunting sumber] Kebanyakan hewan yang ada adalah bilateria, yang artinya hewan dengan sisi kiri dan kanan yang kurang lebih simetris. Semua bilateria diperkirakan diturunkan dari nenek moyang bersama seperti cacing yang muncul pada periode Kambrium, 550–600 juta tahun yang lalu.[7] Bentuk tubuh bilateria dasar adalah sebuah tuba dengan kavitas usus yang berjalan dari mulut ke anus, dan sebuah nerve cord dengan perbesaran sebuah “ganglion” untuk setiap segmen tubuh, dengan kekhususan sebuah ganglion besar di depan, yang disebut “otak”. Daerah permukaan tubuh manusia yang diinervasi oleh setiap saraf tulang belakang. Bahkan mamalia, termasuk manusia, menunjukkan rencana tubuh bilateria tersegmentasi pada tingkatan sistem saraf. Sumsum tulang belakang mengandung serangkaian segmental ganglia, yang masing masing membangkitkan saraf motorik dan sensorik yang menginervasi bagian permukaan tubuh dan otot-otot yang membawahinya. Pada anggota tubuh, tata letak pola inervasi kompleks, tetapi pada bagian ini muncul serangkaian pita sempit. Tiga segmen teratas dimiliki oleh otak, membangkitkan otak depan, otak tengah, dan otak belakang.[19] Bilateria dapat terbagi, berdasarkan peristiwa yang dapat terjadi sangat awal dalam perkembangan embrionik, menjadi 2 kelompok superfila yang disebut protostomia dan deuterostomia.[20] Deuterostomia meliputi vertebrata sebagaimana echinodermata, hemichordata, dan xenoturbella.[21] Protostomia, kelompok yang lebih beragam, meliputi artropoda, moluska, dan berbagai jenis cacing. Ada perbedaan mendasar di antara 2 kelompok dalam penempatan sistem saraf di dalam tubuh protostomia memiliki sebuah nerve cord pada bagian sisi ventral biasanya di bawah, sementara dalam deuterostomia nerve cord biasanya ada di sisi dorsal biasanya atas. Nyatanya, berbagai aspek tubuh terbalik pada kedua kelompok, termasuk pola ekspresi beberapa gen menunjukkan gradien dorsal-ke-ventral. Kebanyakan anatomis sekarang mempertimbangkan badan protostomes dan deuterostomes “terbalik” satu sama lain, sebuah hipotesis yang pertama kali diajukan oleh Geoffroy Saint-Hilaire untuk serangga dalam perbandingan dengan vertebrata. Jadi serangga, contohnya, memiliki nerve cord yang berjalan sepanjang garis tengah ventral tubuh, sementara seluruh vertebrata memiliki sumsum tulang belakang yang berjalan sepanjang garis tengah dorsal.[22] Artropoda [sunting sunting sumber] Anatomi internal seekor laba-laba, menunjukkan sistem saraf dalam warna biru . Artropoda, seperti serangga dan krustasea, memiliki sebuah sistem saraf terbuat dari serangkaian ganglia, terhubung oleh ventral nerve cord yang terdiri dari 2 koneksi paralel di sepanjang perut..[23] Secara umum, setiap segmen tubuh memiliki 1 ganglion pada setiap sisi, walaupun beberapa ganglia berfungsi membentuk otak dan ganglia besar lain. Segmen kepala mengandung otak, juga dikenal sebagai supraesophageal ganglion. Dalam sistem saraf serangga, otak secara anatomis dibagi menjadi protocerebrum, deutocerebrum, dan tritocerebrum. Langsung di belakang otak adalah subesophageal ganglion, yang terbuat dari 3 pasangan ganglia yang berfusi. Ini mengontrol bagian mulut, kelenjar ludah dan otot tertentu. Banyak artropoda memiliki organ sensoris yang berkembang baik, termasuk mata untuk penglihatan dan antena untuk penciuman bau dan feromon. Informasi sensoris dari organ-organ ini diproses oleh otak. Dalam serangga, banyak neuron memiliki badan sel yang bertempat di ujung otak dan secara elektris pasif — badan sel bertugas hanya untuk menyediakan dukungan metabolik dan tidak berpartisipasi dalam pensinyalan. Sebuah serat protoplasmik dari badan sel dan bercabang, dengan beberapa bagian mentransmisikan sinyal dan bagian lain menerima sinyal. Oleh karena itu, kebanyakan bagian dari otak serangga memiliki sel pasif badan sel yang diatur sepanjang periferal, sementara pemrosesan sinyal neural berlangsung dalam sebuah serat protoplasmik disebut neuropil, di bagian dalam.[24] Neuron “Teridentifikasi” [sunting sunting sumber] Sebuah neuron disebut teridentifikasi jika ia memiliki sifat yang membedakannya dari setiap neuron lain dalam hewan yang sama—sifat seperti lokasi, neurotransmitter, pola ekspresi gen, dan keterhubungan — dan jika setiap individu organisme yang berasal dari spesies yang sama memiliki satu-satunya neuron dengan set sifat yang sama.[25] Dalam sistem saraf vertebrata sangat sedikit neuron yang “teridentifikasi” dalam pengertian ini — dalam manusia, tidak ada — tetapi dalam sistem saraf yang lebih sederhana, beberapa atau semua neuron mungkin jadi akhirnya unik. Dalam cacing bulat C. elegans yang sistem sarafnya paling banyak digambarkan, setiap neuron dalam tubuh secara unik teridentifikasi, dengan lokasi yang sama dan koneksi yang sama dalam setiap individu cacing. Satu akibat yang tercatat dari fakta ini adalah bahwa bentuk sistem saraf C. elegans secara utuh dispesifikkan oleh genom, dengan tidak adanya plasisitas yang tergantung pada pengalaman.[26] Otak dari kebanyakan moluska dan serangga juga mengandung sejumlah neuron teridentifikasi substansial.[25] Dalam vertebrata, neuron teridentifikasi yang paling dikenal adalah sel Mauthner ikan.[27] Setiap ikan memiliki 2 sel Mauthner, yang terletak di bagian bawah dari batang otak, 1 di sisi kiri dan 1 di sisi kanan. Setiap sel Mauthner memiliki akson yang menyebrang, menginervasi neuron pada tingkatan otak yang sama dan kemudian berjalan turun sepanjang sumsum tulang belakang, membentuk berbagai koneksi di sepanjang jalurnya. Sinaps digenerasikan oleh sebuah sel Mauthner yang sangat kuat hingga sebuah potensi aksi tunggal dapat membangkitkan respons tingkah laku mayor dalam waktu millidetik ikan mengkurvakan tubuhnya menjadi bentuk C, kemudian meluruskan diri, oleh karena itu meluncur secara cepat ke depan. Secara fungsional ini adalah respons melarikan diri cepat, dipicu paling mudah oleh sebuah gelombang suara kuat atau gelombang tekanan yang menekan organ garis lateral sisi ikan. Sel Mauthner bukanlah satu-satunya sel neuron teridentifikasi pada ikan,— masih ada lebih dari 20 jenis, termasuk pasangan “analog sel Mauthner ” dalam setiap inti tulang belakang segmental. Walaupun sebuah sel Mauthner mampu membangkitkan respons melarikan diri secara individual, dalam konteks tingkah laku biasa dari jenis sel lain biasanya berkontribusi dalam membentuk amplitudo dan arah respons. Sel Mauthner telah digambarkan sebagai neuron perintah. Sebuah neuron pemberi perintah adalah tipe khusus dari neuron teridentifikasi, didefinisikan sebagai sebuah neuron yang mampu mengendalikan sebuah tingkah laku spesifik secara individual.[28] Neuron seperti ini tampaknya paling umum dalam sistem melarikan diri dari berbagai spesies — akson raksasa cumi-cumi dan sinaps raksasa cumi-cumi, yang digunakan untuk percobaan dalam neurofisiologi karena ukurannya yang sangat besar, berpartisipasi dalam sirkuit pelarian diri yang cepat. Namun, konsep sebuah neuron pemberi perintah masih kontroversial karena penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa neuron yang awalnya tampak cocok dengan deskripsi tersebut ternyata hanya mampu menimbulkan respons dalam keadaan yang terbatas.[29] Fungsi [sunting sunting sumber] Pada tingkatan paling dasar, fungsi sistem saraf adalah untuk mengirimkan sinyal dari 1 sel ke sel lain, atau dari 1 bagian tubuh ke bagian tubuh lain. Ada berbagai cara sebuah sel dapat mengirimkan sinyal ke sel lain. Satu cara adalah dengan melepaskan bahan kimia yang disebut hormon ke dalam sirkulasi internal, sehingga mereka dapat berdifusi tempat-tempat yang jauh. Berkebalikan dnegan modus pensinyalan “pemancaran”, sistem saraf menyediakan sinyal dari tempat ke tempat—neuron memproyeksikan akson-akson mereka ke daerah sasaran spesifik dan membentuk koneksi sinaptik dengan sel sasaran spesifik.[30] Oleh sebab itu, pensinyalan neural memiliki spesifitas yang jauh lebih tinggi tingkatannya daripada pensinyalan hormonal. Hal tersebut juga lebih cepat sinyal saraf tercepat berjalan pada kecepatan yang melebihi 100 meter per detik. Pada tingkatan lebih terintegrasi, fungsi primer sistem saraf adalah untuk mengontrol tubuh.[2] Hal ini dilakukan dengan cara mengambil informasi dari lingkungan dengan menggunakan reseptor sensoris, mengirimkan sinyal yang mengodekan informasi ini ke dalam sistem saraf pusat, memproses informasi untuk menentukan sebuath respons yang tepat, dan mengirim sinyal keluaran ke otot atau kelenjar untuk mengaktivasi respons. Evolusi sebuah sistem saraf kompleks telah memungkinkan berbagai spesies hewan untuk memiliki kemampuan persepsi yang lebih maju seperti pandangan, interaksi sosial yang kompleks, koordinasi sistem organ yang cepat, dan pemrosesan sinyal yang berkesinambungan secara terintegrasi. Pada manusia, kecanggihan sistem saraf membuatnya mungkin untuk memiliki bahasa, konsep representasi abstrak, transmisi budaya, dan banyak fitur sosial yang tidak mungkin ada tanpa otak manusia. Neuron dan sinaps [sunting sunting sumber] Elemen utama dalam transmisi sinaptik. Sebuah gelombang elektrokimia yang disebut potensial aksi berjalan di sepanjang akson dari sebuah neuron. Ketika gelombang mencapai sebuah sinaps, ia akan memicu pelepasan sejumlah kecil molekul neurotransmitter, yang berikatan dengan molekul reseptor kimia yang terletak di membran sel sasaran. Kebanyakan neuron mengirimkan sinyal melalui akson, walaupun beberapa jenis mampu melakukan komunikasi dendrit ke dendrit. faktanya, jenis-jenis neuron disebut sel amakrin tidak memiliki akson, dan berkomunikasi hanya melalui dendrit mereka. Sinyal neural berpropagasi sepanjang sebuah akson dalam bentuk gelombang elektrokimia yang disebut potensial aksi, yang menghasilkan sinyal sel ke sel di tempat terminal akson membentuk kontak sinaptik dengan sel lain.[31] Sinaps dapat berupa elektrik atau kimia. Sinaps elektrik membuat hubungan elektrik langsung di antara neuron-neuron,[32] tetapi sinaps kimia lebih umum, dan lebih beragam dalam fungsi.[33] Di sebuah sinaps kimia, sel mengirimkan sinyal yang disebut presinaptik, dan sel yang menerima sinyal disebut postsinaptik. Baik presinaptik dan postsinaptik penuh dengan mesin molekular yang membawa proses sinyal. Daerah presinaptik mengandung sejumlah besar vessel bulat yang sangat kecil yang disebut vesikel sinaptik, dipenuhi oleh bahan-bahan kimia neurotransmitter.[31] Ketika terminal presinaptik terstimulasi secara elektrik, sebuah susunan molekul yang melekat pada membran teraktivasi, dan menyebabkan isi dari vesikel dilepaskan ke dalam celah sempit di antara membran presinaptik dan postsinaptik, yang disebut celah sinaptik synaptic cleft. Neurotransmitter kemudian berikatan dengan reseptor yang melekat pada membran postsinaptik, menyebabkan neurotransmiter masuk ke dalam status teraktivasi.[33] Tergantung pada tipe reseptor, efek yang dihasilkan pada sel postsinaptik mungkin eksitasi, penghambatan, atau modulasi dalam berbagai cara yang lebih rumit. Contohnya, pelepasan neurotransmitter asetilkolin pada kontak sinaptik di antara neuron motorik dan sebuah sel otot menginduksi kontraksi cepat dari sel otot.[34] Seluruh proses transmisi sinaptik memerlukan hanya sebuah fraksi dari sebuah milidetik, walaupun efek pada sel postsinaptik mungkin berlangsung lebih lama bahkan tidak terbatas, dalam kasus ketika sinyal sipatik mengarah pada informasi sebuah jejak ingatan.[8] Secara harfiah ada beratus-ratus jenis sinaps. Faktanya, ada lebih dari seratus neurotransmitter yang diketahui, dan banyak di antara mereka memiliki jenis reseptor ganda.[35] Banyak sinaps menggunakan lebih dari 1 neurotransmitter—sebuah pengaturan umum untuk sebuah sinaps adalah menggunakan sebuah molekul neurotransmiter kecil yang bekerja cepat seperti glutamat atau GABA, sejalan dengan 1 atau lebih neurotransmiter peptida yang memainkan peran modulatoris yang lebih lambat. Ahli saraf molekular biasanya membagi reseptor menjadi 2 kelompok besar kanal ion berpagar kimia chemically gated ion channels dan sistem pengantar pesan kedua second messenger system. Ketika sebuah kanal ion berpagar kimia teraktivasi, kanal tersebut akan membentuk sebuah tempat untuk dapat dilalui yang mengizinkan jenis ion tertentu yang spesifik untuk mengalir melalui membran. Tergantung jenis ion, efek pada sel sasaran mungkin eksitasi atau penghambatan. Ketika sebuah sistem pengantar pesan kedua teraktivasi, sistem ini akan memulai kaskade interaksi molekular di dalam sel sasaran, yang pada akhirnya akan memproduksi berbagai macam efek rumit/kompleks, seperti peningkatan atau penurunan sensitivitas sel terhadap stimuli, atau bahkan mengubah transkripsi gen. Menurut hukum yang disebut prinsip Dale, yang hanya memiliki beberapa pengecualian, sebuah neuron melepaskan neurotransmiter yang sama pada semua sinapsnya.[36] Walaupun demikian, bukan berarti bahwa sebuah neuron mengeluarkan efek yang sama pada semua sasarannya, sebab efek sebuah sinaps tergantung tidak hanya pada neurotransmitter, tetapi pada reseptor yang diaktivasinya.[33] Karena sasaran yang berbeda dapat dan umumnya memang menggunakan berbagai jenis reseptor, hal ini memungkinkan neuron untuk memiliki efek eksitatori pada 1 set sel sasaran, efek penghambatan pada yang lain, dan efek modulasi rumit/kompleks pada yang lain. Walaupun demikian, 2 neurotransmitter yang paling sering digunakan, glutamat dan GABA, masing-masing memiliki efek konsisten. Glutamat memiliki beberapa jenis reseptor yang umum ada, tetapi semuanya adalah eksitatori atau modulatori. Dengan cara yang sama, GABA memiliki jenis reseptor yang umum ada, tetapi semuanya adalah penghambatan.[37] Karena konsistensi ini, sel glutamanergik kerapkali disebut sebagai “neuron eksitatori”, dan sel GABAergik sebagai “neuron penghambat”. Ini adalah penyimpangan terminologi — reseptornyalah yang merupakan eksitatori dan penghambat, bukan neuronnya — tetapi hal ini umum terlihat bahkan dalam publikasi ilmiah. Satu subset sinaps yang paling penting mampu membentuk jejak ingatan dengan cara perubahan dalam kekuatan sinaptik tergantung aktivitas yang bertahan lama.[38] Ingatan neural yang paling dikenal adalah sebuah proses yang disebut potensiasi jangka panjang long-term potentiation, disingkat LTP, yang beroperasi pada sinaps yang menggunakan neurotransmitter glutamat yang bekerja pada sebuah jenis reseptor khusus yang dikenal sebagai reseptor NMDA.[39] Reseptor NMDA memiliki sifat “assosiasi” jika 2 sel terlibat dalam sinaps yang terkavitasi keduanya pada kurang lebih waktu yang sama, sebuah kanal terbuka sehingga mengizinkan kalsium untuk mengalir menuju sel sasaran.[40] Pemasukan kalsium memicu sebuah kaskade pengantar pesan kedua yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan sejumlah reseptor glutamat dalam sel sasaran, sehingga meningkatkan kekuatan efektif sinaps. Perubahan kekuatan ini dapat berlangsung beberapa minggu atau lebih panjang. Sejak penemuan LTP pada tahun 1973, banyak jenis jejak ingatan sinaptik ditemukan, termasuk peningkatan atau penurunan dalam kekuatan sinaptik yang diinduksi oleh berbagai kondisi, dan berlangsung dalam berbagai periode yang beragam.[39] Pembelajaran pahala reward learning, contohnya, bergantung pada bentuk variasi dari LTP yang dikondisikan pada sebuah ekstra masukan yang berasal dari jalur pensinyalan pahala reward-signalling pathway menggunakan dopamin sebagai neurotransmitter.[41] Semua bentuk modifikasi sinaptik ini, secara kolektif, menimbulkan neuroplastisitas, yaitu kemampuan sebuah sistem saraf untuk beradaptasi pada variasi dalam lingkungan. Sistem dan sirkuit saraf [sunting sunting sumber] Fungsi dasar neuronal mengirimkan sinyal kepada sel lain meliputi kemampuan neuron untuk mengubah sinyal dengan yang lain. Jaringan kerja terbentuk dengan kelompok saling terhubung dari neuron mampu menjalankan berbagai fungsi, termasuk fitur deteksi, generasi pola, dan pengaturan waktu.[42] Nyatanya, sulit untuk menentukan batas proses jenis informasi yang dapat dikerjakan oleh jaringan saraf Warren McCulloch dan Walter Pitts menunjukkan pada tahun 1943 bahwa bahkan jaringan saraf tiruan dibentuk dari sebuah abstraksi matematika yang sangat disederhanakan mampu melakukan perhitungan universal.[43] Dengan mempertimbangkan fakta bahwa neuron secara individual mampu menggenerasikan pola aktivitas temporal kompleks secara bebas, rentang kemampuan sangat mungkin ada bahkan untuk sekelompok kecil neuron di luar pengertian yang ada sekarang.[42] Penggambaran jalur rasa sakit, dari Treatise of Man karya René Descartes. Dalam sejarah, selama bertahun-tahun pandangan utama dalam fungsi sistem saraf adalah penghubung stimulus-respons.[44] Dalam konsep ini, proses saraf dimulai dengan stimuli yang mengaktifkan neuron sensorik, menghasilkan sinyal yang berpropagasi melalui serangkaian hubungan dalam sumsum tulang belakang dan otak, mengaktifkan neuron motorik dan maka menghasilkan respons seperti kontraksi otot. Descartes percaya bahwa semua tingkah laku hewan, dan kebanyakan tingkah laku manusia, dapat dijelaskan dalam kerangka sirkuit stimulus-respons, walaupun ia juga percaya bahwa fungsi kognitif yang lebih tinggi seperti bahasa tidak mampu dijelaskan secara mekanis.[45] Charles Sherrington, dalam bukunya pada tahun 1906 yang berjudul The Integrative Action of the Nervous System,[44] mengembangkan konsep mekanisme stimulus-respons dengan cara yang lebih detail, dan Behaviorisme, mazhab yang mendominasi psikologi sepanjang pertengahan abad ke-20, mencoba untuk menjelaskan setiap aspek tingkah laku manusia dalam rangka stimulus-respons.[46] Namun, penelitian elektrofisiologi yang dimulai pada awal abad 20 dan mencapai produktivitasnya pada tahun 1940 menunjukkan bahwa sistem saraf mengandung berbagai mekanisme untuk menghasilkan pola aktivitas secara intrinsik, tanpa memerlukan stimulus eksternal.[47] Neuron-neuron ditemukan mampu memproduksi rangkaian potensial aksi reguler, atau rangkaian ledakan sequences of bursts, bahkan dalam isolasi penuh.[48] Ketika neuron aktif secara intrinsik terhubung dengan yang lain dalam sirkuit kompleks, kemungkinan penghasilan pola temporer yang lebih rumit menjadi jauh lebih besar.[42] Konsep modern memandang fungsi sistem saraf sebagian dalam kerangka rangkaian stimulus-respons, dan sebagian dalam kerangka pola aktivitas yang dihasilkan secara intrinsik — kedua jenis aktivitas berinteraksi dengan yang lain untuk menggenerasikan tingkah laku berulang-ulang.[49] Sirkuit refleks dan rangsang stimulus lainnya [sunting sunting sumber] Skema fungsi saraf dasar yang disederhanakan sinyal diambil oleh reseptor sensoris dan dikirim ke sumsum tulang belakang dan otak, tempat terjadinya pemrosesan yang menghasilkan sinyal dikirim kembali ke sumsum tulang belakang dan kemudian ke neuron motorik. Jenis sirkuit saraf yang paling sederhana adalah lengkung refleks reflex arc, yang dimulai dari masukan sensoris dan berakhir dengan keluaran motorik, melewati serangkaian neuron di tengahnya.[50] Contohnya adalah “refleks penarikan” yang menyebabkan tangan tertarik ke belakang setelah menyentuh kompor panas. Sirkuit dimulai dengan reseptor sensoris di kulit yang teraktivasi oleh kadar panas yang membahayakan sebuah jenis struktur molekuler khusus melekat pada membran menyebabkan panas untuk mengubah medan listrik di sepanjang membran. Jika perubahan dalam potensial ekletrik cukup besar, ia akan membangkitkan potensial aksi, yang ditransmisikan sepanjang akson sel reseptor, menuju sumsum tulang belakang. Di sana akson akan membuat kontak sinaptik eksitatori dengan sel lain, beberapa dari antaranya memproyeksikan mengirim keluaran aksonal ke regio yang sama dari sumsum tulang belakang, dan yang lain memproyeksikan ke dalam otak. Satu sasaran adalah serangkaian interneuron tulang belakang yang memproyeksikan ke neuron motorik untuk mengontrol otot lengan. Interneuron mengeksitasi neuron motorik, dan jika eksitasi cukup kuat, beberapa dari neuron motorik menghasilkan potensial aksi, yang berjalan sepanjang akson ke titik di mana mereka membuat kontak sinaptik eksitatori dengan sel otot. Sinyal eksitatori memicu kontraksi sel otot, yang menyebabkan sudut sendi dalam lengan berubah, menarik lengan menjauh. Dalam kenyataannya, skema ini berkaitan dengan berbagai komplikasi.[50] Walaupun untuk refleks yang paling sederhana ada jalur saraf pendek dari neuron sensorik ke neuron motorik, ada juga neuron yang dekat yang berpartisipasi dalam sirkuit dan memodulasi respons. Lebih lanjut lagi, ada proyeksi dari otak ke sumsum tulang belakang yang mampu meningkatkan atau menghambat refleks. Walaupun refleks paling sederhana mungkin dimediasi oleh sirkuit berada sepenuhnya di dalam sumsum tulang belakang, respon lebih kompleks/rumit bergantung pada pemprosesan sinyal di dalam otak.[51] Pertimbangkan, contohnya, apa yang terjadi ketika sebuah benda dalam daerah visual perifer bergerak, dan seseorang melihat ke arahnya. Respons sensoris awal, dalam retina mata, dan respons motorik akhir, dalam inti okulomotor dari batang otak, semuanya tidaklah berbeda dari semua di refleks sederhana, tetapi dalam tahap antara benar-benar berbeda. Tidak hanya 1 atau 2 langkah rangkaian pemrosesan, sinyal visual melewati mungkin selusinan tahap integrasi, melibatkan thalamus, cerebral cortex, basal ganglia, superior colliculus, cerebellum, dan beberapa inti batang otak. Daerah-daerah ini membentuk fungsi pemrosesan sinyal yang meliputi deteksi fitur, analisis persepsi, pemanggilan kembali ingatan, pengambilan keputusan, dan perencanaan motorik.[52] Deteksi fitur adalah kemampuan untuk mengekstraksi secara biologis informasi yang relevan dari kombinasi sinyal sensoris.[53] Dalam sistem penglihatan, contohnya, reseptor sensoris dalam retina mata hanya mampu untuk mendeteksi “titik cahaya” dalam dunia luar secara individual.[54] Neuron penglihatan tingkat kedua menerima masukan dari kelompok-kelompok reseptor primer, neuron yang lebih tinggi menerima masukan dari kelompok-kelompok neuron tingkat kedua, dan seterusnya, membentuk tingkatan proses hierarkis. Pada setiap tahapan, infromasi penting diekstraksi dari sinyal yang dikumpulkan dan informasi yang tidak penting dibuang. Di akhir proses, masukan sinyal mewakili “titik cahaya” telah ditransformasikan menjadi perwakilan saraf dari objek dalam dunia sekitarnya dan sifatnya. Pemrosesan sensoris paling canggih terjadi dalam otak, tetapi fitur ekstraksi kompleks juga terjadi di sumsum tulang belakang dan organ sensoris periferal seperti retina. Penghasilan pola intrinsik [sunting sunting sumber] Walaupun mekanisme respons-stimulus adalah yang paling mudah dimengerti, sistem saraf juga dapat mengontrol tubuh dalam berbagai cara yang tidak memerlukan stimulus luar, melalui irama aktivitas yang dihasilkan dari dalam. Karena berbagai kanal ion sensitif terhadap voltasi yang dapat melekat dalam membran dalam sebuah neuron, berbagai jenis neuron mampu, bahkan dalam isolasi, menggenerasikan sekuens irama potensial aksi, atau perubahan irama di antara ledakan tingkat tinggi dan masa tenang. Ketika neuron secara irama intrinsik terkoneksi dengan yang lain oleh respons sinaps-sinaps eksitatoris atau penghambatan, jaringan kerja yang dihasilkan mampu menghasilkan tingkah laku dinamis yang beragam, termasuk dinamika penarikan attractor, periodisitas, dan bahkan chaos. Sebuah jaringan kerja neuron yang menggunakan struktur internalnya untuk menghasilkan keluaran terstruktur secara temporer, tanpa memerlukan stimulus terstruktur yang berkorespondensi secara temporer disebut sebagai generator pola pusat. Penggenerasian pola internal beroperasi dalam rentang yang luas berdasarkan skala waktu, dari millidetik sampai jam atau lebih lama lagi. Satu dari jenis penting pola temporal adalah irama sirkadian — yaitu, irama dengan sebuah periode kira-kira 24 jam. Semua hewan yang telah diteliti menunjukkan fluktuasi sirkadian dalam aktivitas neural, yang mengontrol perubahan sirkadian dalam tingkah laku seperti siklus tidur-bangun. Penelitian dari tahun 1990an telah menunjukkan bahwa irama sirkadian digenerasikan oleh sebuah “jam genetik” yang terdiri dari sekelompok gen khusus yang kadar ekspresinya meningkat dan menurun sepanjang hari. Hewan yang beragam seperti serangga dan vertebrata memiliki sistem jam genetik yang sama. Jam sirkadian dipengaruhi oleh cahaya tetapi terus berlanjut bekerja bahkan ketika kadar cahaya dipertahankan konstan dan tidak ada petunjuk waktu hari eksternal lain tersedia. Gen jam ini diekspresikan dalam berbagai bagian sistem saraf sebagaimana banyak organ periferal, tetapi dalam mamalia seluruh “jam jaringan” ini dipertahankan dalam sinkronisasi oleh sinyal yang keluar dari sebuah penjaga waktu utama dalam bagian kecil dalam otak yang disebut inti suprakiasmatik. Penghantaran rangsang [sunting sunting sumber] Semua sel dalam tubuh manusia memiliki muatan listrik yang terpolarisasi, dengan kata lain terjadi perbedaan potensial antara bagian luar dan dalam dari suatu membran sel, tidak terkecuali sel saraf neuron. Perbedaan potensial antara bagian luar dan dalam membran ini disebut potensial membran. Informasi yang diterima oleh Indra akan diteruskan oleh saraf dalam bentuk impuls. Impuls tersebut berupa tegangan listrik. Impuls akan menempuh jalur sepanjang akson suatu neuron sebelum dihantarkan ke neuron lain melalui sinapsis dan akan seperti itu terus hingga mencapai otak, dimana impuls itu akan diproses. Kemudian otak mengirimkan impuls menuju organ atau indra yang dituju untuk menghasilkan efek yang diinginkan melalui mekanisme pengiriman impuls yang sama. Membran hewan memiliki potensial istirahat sekitar -50 mV s/d -90 mV, potensial istirahat adalah potensial yang dipertahankan oleh membran selama tidak ada rangsangan pada sel. Datangnya stimulus akan menyebabkan terjadinya depolarisasi dan hiperpolarisasi pada membran sel, hal tersebut menyebabkan terjadinya potensial kerja. Potensial kerja adalah perubahan tiba-tiba pada potensial membran karena datangnya rangsang. Pada saat potensial kerja terjadi, potensial membran mengalami depolarisasi dari potensial istirahatnya -70 mV berubah menjadi +40 mV. Akson vertebrata umumnya memiliki selubung mielin. Selubung mielin terdiri dari 80% lipid dan 20% protein, menjadikannya bersifat dielektrik atau penghambat aliran listrik dan hal ini menyebabkan potensial kerja tidak dapat terbentuk pada selubung mielin; tetapi bagian dari akson bernama nodus Ranvier tidak diselubungi oleh mielin. Penghantaran rangsang pada akson bermielin dilakukan dengan mekanisme hantaran saltatori, yaitu potensial kerja dihantarkan dengan “melompat” dari satu nodus ke nodus lainnya hingga mencapai sinapsis. Pada ujung neuron terdapat titik pertemuan antar neuron bernama sinapsis, neuron yang mengirimkan rangsang disebut neuron pra-sinapsis dan yang akan menerima rangsang disebut neuron pasca-sinapsis. Ujung akson setiap neuron membentuk tonjolan yang didalamnya terdapat mitokondria untuk menyediakan ATP untuk proses penghantaran rangsang dan vesikula sinapsis yang berisi neurotransmitter umumnya berupa asetilkolin ACh, adrenalin dan noradrenalin. Ketika rangsang tiba di sinapsis, ujung akson dari neuron pra-sinapsis akan membuat vesikula sinapsis mendekat dan melebur ke membrannya. Neurotransmitter kemudian dilepaskan melalui proses eksositosis. Pada ujung akson neuron pasca-sinapsis, protein reseptor mengikat molekul neurotransmitter dan merespon dengan membuka saluran ion pada membran akson yang kemudian mengubah potensial membran depolarisasi atau hiperpolarisasi dan menimbulkan potensial kerja pada neuron pasca-sinapsis. Ketika impuls dari neuron pra-sinaps berhenti neurotransmitter yang telah ada akan didegradasi. Molekul terdegradasi tersebut kemudian masuk kembali ke ujung akson neuron pra-sinapsis melalui proses endositosis. Perkembangan [sunting sunting sumber] Dalam vertebrata, hal penting dalam perkembangan saraf embrionik meliputi kelahiran dan diferensiasi neuron dari sel punca, migrasi neuron yang belum matang dari tempat kelahiran mereka dalam embrio ke posisi akhir mereka, pertumbuhan akson dari neuron dan pengarahan growth cone motil melalui embrio menuju rekan postsinaptik, penghasilan sinaps di antara akson-akson ini dan rekan postsinaptik mereka, dan akhirnya perubahan seumur hidup dalam sinaps yang diduga mendasari pembelajaran dan ingatan.[55] Semua hewan bilateria pada tahap awal perkembangan membentuk sebuah gastrula yang terpolarisasi, dengan sebuah ujung yang disebut kutub hewan dan yang lain kutub vegetal. Gastrula memiliki bentuk cakram dengan 3 lapisan sel, lapisan terdalam disebut endoderm, yang membangkitkan dasar dari kebanyakan organ dalam, sebuah lapisan tengah yang disebut mesoderm, yang membangkitkan tulang dan otot, dan lapisan terluar yang disebut ektoderm, yang membangkitkan kulit dan sistem saraf.[56] Embrio manusia, menunjukkan lekukan saraf neural groove. Empat tahapan dalam perkembangan tabung saraf dalam embrio manusia. Dalam vertebrata, tanda pertama kemunculan sistem saraf adalah kemunculan sel tipis di sepanjang bagian tengah punggung yang disebut piringan saraf neural plate. Bagian dalam piringan saraf sepanjang garis tengah ditujukan untuk menjadi sistem saraf pusat SSP, dan bagian luar sistem saraf tepi SST. Sebagaimana perkembangan berlanjut, sebuah lipatan disebut lekukan saraf neural groove muncul di sepanjang garis tengah. Lipatan ini menjadi dalam dan kemudian menutup di atas. Pada titik ini SSP yang mendatang, tampak seperti struktur silindris yang disebut sebagai tabung saraf, tempat SST yang akan jadi tampak seperti 2 garis jaringan yang disebut puncak saraf neural crest, yang ada di atas tabung saraf. Rangkaian tahapan dari piringan saraf ke tabung saraf dan puncak saraf dikenal sebagai neurulasi. Pada awal abad 20, serangkaian percobaan terkenal oleh Hans Spemann dan Hilde Mangold menunjukkan bahwa pembentukan jaringan saraf “diinduksi” oleh sinyal dari sebuah kelompok mesodermal yang disebut “wilayah pengatur” organizer region.[55] Namun, selama beberapa dasawarsa, sifat proses induksi tidak dapat diketahui, sampai pada akhirnya hal ini terpecahkan melalui pendekatan genetic pada tahun 1990an. Induksi jaringan saraf memerlukan penghambatan gen yang disebut protein morfogenetik tulang bone morphogenetic protein, disingkat BMP. Secara khusus, protein BMP4 tampaknya terlibat. Dua protein yang disebut Noggin dan Chordin disekresikan oleh mesoderm tampaknya mampu menghambat BMP4 dan oleh karenanya menginduksi ektoderm untuk berubah menjadi jaringan saraf. Tampaknya sebuah mekanisme molekular yang sama terlibat dalam berbagai jenis hewan yang berbeda, termasuk artropoda dan juga vertebrata. Namun, dalam beberapa hewan, sebuah jenis molekul lain yang disebut faktor pertumbuhan fibroblas Fibroblast Growth Factor, disingkat FGF mungkin dapat berperan dalam induksi. Induksi jaringan neural menyebabkan pembentukan sel pendahulu saraf yang disebut neuroblas.[57] Dalam drosophila, neuroblas terbagi secara asimetris, sehingga 1 produk adalah sebuah “sel induk ganglion” ganglion mother cell, disingkat GMC, dan yang lain adalah sebauah neuroblas. Sebuah GMC terbagi sekali dan menghasilkan baik pasangan neuron atau pasangan sel glial. Secara keseluruhan, sebuah neuroblas mampu menghasilkan sejumlah neuron atau glia yang tak terbatas. Sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian tahun 2008, sebuah faktor yang umum pada seluruh organisme bilateral termasuk manusia adalah kelompok molekul yang mensekresikan molekul pensinyalan yang disebut neurotrofin yang mengatur pertumbuhan dan kelangsungan hidup neuron.[58] Zhu et al. mengidentifikasi DNT1, neurotrofin pertama yang ditemukan pada lalat. Struktur DNT1 mirip dengan semua neurotrofin yang dikenal dan merupakan sebuah faktor penting dalam penentuan nasib neuron dalam Drosophila. Karena neurotrofin sekarang telah teridentifikasi dalam vertebrata dan invertebrata, bukti ini menunjukkan bahwa neurotrofin ada alam nenek moyang yang umum organisme bilateral dan mungkin mewakili sebuah mekanisme umum untuk pembentukan sistem saraf. Patologi [sunting sunting sumber] Sistem saraf Pusat SSP dilindungi oleh sawar barrier fisik dan kimia. Secara fisik, otak dan sumsum tulang belakang dikelilingi oleh membran meningeal yang kuat, dan dibungkus oleh tulang tengkorak dan vertebra tulang belakang, yang membentuk perlindungan fisik yang kuat. Secara kimia, otak dan sumsum tulang belakang terisolasi oleh yang disebut sawar darah-otak ”Blood-brain barrier”, yang mencegah kebanyakan jenis bahan kimia berpindah dari aliran darah kedalam bagian dalam SSP. Perlindungan ini membuat SSP kurang rentan bila dibandingkan dengan SST; namun, di sisi lain, kerusakan pada SSP cenderung lebih serius dampaknya. Walaupun saraf cenderung berada di bawah kulit kecuali di beberapa tempat, seperti saraf ulnar dekat dengan persambungan sendi siku, saraf-saraf ini cenderung terpapar kerusakan fisik, yang dapat menyebabkan rasa sakit, kehilangan sensasi rasa, atau kehilangan kontrol otot. Kerusakan pada saraf juga dapat disebabkan oleh pembengkakan atau memar di tempa saraf lewat di antara kanal tulang yang ketat, seperti terjadi pada sindrom lorong karpal. Jika sebuah saraf benar-benar terpotong, saraf akan beregenerasi, tetapi untuk saraf yang panjang, proses ini mungkin akan memakan waktu berbulan-bulan untuk selesai. Sebagai tambahan pada kerusakan fisik neuropati periferal dapat disebabkan oleh masalah medis lain, termasuk kondisi genetik, kondisi metabolik seperti diabetes, kondisi peradangan seperti sindrom Guillain–Barré, defisiensi vitamin, penyakit infeksi seperti kusta atau herpes zoster, atau keracunan oleh racun seperti logam berat. Banyak kasus tidak memiliki penyebab yang dapat teridentifikasi, dan disebut idiopatik. Saraf juga dapat kehilangan fungsinya untuk sementara waktu, mengakibatkan ketiadaan rasa — penyebab umum meliputi tekanan mekanis, penurunan suhu, atau interaksi kimia dengan obat seperti lidokain. Kerusakan fisik pada sumsum tulang belakang mungkin berakibat pada kehilangan sensasi atau pergerakan. Jika sebuah kecelakaan pada tulang punggung menghasilkan sesuatu yang tidak parah dari pembengkakan, gejala hanya sementara, tetapi apabila serabut saraf di tulang belakang hancur, kehilangan fungsi biasanya menetap. Percobaan telah menunjukkan bahwa serabut saraf tulang belakang biasanya mencoba untuk tumbuh kembali dengan cara yang sama seperti serabut saraf, teapi dalam sumsum tulang belakang, kerusakan jaringan biasanya menghasilkan jaringan parut yang tidak dapat dipenetrasi oleh saraf yang tumbuh kembali. Referensi [sunting sunting sumber] ^ “Nervous System”. Columbia Encyclopedia. Columbia University Press. ^ a b c d e f Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 2 Nerve cells and behavior”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Finger S 2001. “Ch. 1 The brain in antiquity”. Origins of neuroscience a history of explorations into brain function. Oxford Univ. Press. ISBN 978-0-19-514694-3. ^ Finger, pp. 43–50 ^ a b Sakarya O, Armstrong KA, Adamska M; et al. 2007. Vosshall, Leslie, ed. “A post-synaptic scaffold at the origin of the animal kingdom”. PLoS ONE. 2 6 e506. doi PMC1876816 . PMID 17551586. ^ a b Ruppert EE, Fox RS, Barnes RD 2004. Invertebrate Zoology edisi ke-7. Brooks / Cole. hlm. 111–124. ISBN 0-03-025982-7. ^ a b Balavoine G 2003. “The segmented Urbilateria A testable scenario”. Int Comp Biology. 43 1 137–47. doi ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 4 The cytology of neurons”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ a b Allen NJ, Barres BA 2009. “Neuroscience Glia – more than just brain glue”. Nature. 457 7230 675–7. doi PMID 19194443. ^ Azevedo FA, Carvalho LR, Grinberg LT; et al. 2009. “Equal numbers of neuronal and nonneuronal cells make the human brain an isometrically scaled-up primate brain”. J. Comp. Neurol. 513 5 532–41. doi PMID 19226510. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 17 The anatomical organization of the central nervous system”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Standring, Susan Editor-in-chief 2005. Gray’s Anatomy edisi ke-39th. Elsevier Churchill Livingstone. hlm. 233–234. ISBN 978-0-443-07168-3. ^ Hubbard JI 1974. The peripheral nervous system. Plenum Press. hlm. vii. ISBN 978-0-306-30764-5. ^ Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, Hall WC, LaMantia A-S, McNamara JO, White LE 2008. Neuroscience. 4th ed. Sinauer Associates. hlm. 15–16. ^ “ganglion” di Dorland’s Medical Dictionary ^ Afifi AK 1994. “Basal ganglia functional anatomy and physiology. Part 1”. J. Child Neurol. 9 3 249–60. doi PMID 7930403. ^ Jacobs DK1, Nakanishi N, Yuan D; et al. 2007. “Evolution of sensory structures in basal metazoa”. Integr Comp Biol. 47 5 712–723. doi PMID 21669752. ^ Sanes DH, Reh TA, Harris WA 2006. Development of the nervous system. Academic Press. hlm. 3–4. ISBN 978-0-12-618621-5. ^ Ghysen A 2003. “The origin and evolution of the nervous system”. Int. J. Dev. Biol. 47 7–8 555–62. PMID 14756331. ^ Erwin DH, Davidson EH 2002. “The last common bilaterian ancestor”. Development. 129 13 3021–32. PMID 12070079. ^ Bourlat SJ, Juliusdottir T, Lowe CJ; et al. 2006. “Deuterostome phylogeny reveals monophyletic chordates and the new phylum Xenoturbellida”. Nature. 444 7115 85–8. doi PMID 17051155. ^ Lichtneckert R, Reichert H 2005. “Insights into the urbilaterian brain conserved genetic patterning mechanisms in insect and vertebrate brain development”. Heredity. 94 5 465–77. doi PMID 15770230. ^ Chapman RF 1998. “Ch. 20 Nervous system”. The insects structure and function. Cambridge University Press. hlm. 533–568. ISBN 978-0-521-57890-5. ^ Chapman, hal. 546 ^ a b Hoyle G, Wiersma CAG 1977. Identified neurons and behavior of arthropods. Plenum Press. ISBN 978-0-306-31001-0. ^ “Wormbook Specification of the nervous system”. ^ Stein PSG 1999. Neurons, Networks, and Motor Behavior. MIT Press. hlm. 38–44. ISBN 978-0-262-69227-4. ^ Stein, hal. 112 ^ Simmons PJ, Young D 1999. Nerve cells and animal behaviour. Cambridge University Press. hlm. 43. ISBN 978-0-521-62726-9. ^ Gray PO 2006. Psychology edisi ke-5. Macmillan. hlm. 170. ISBN 978-0-7167-7690-1. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 9 Propagated signaling the action potential”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Hormuzdi SG, Filippov MA, Mitropoulou G; et al. 2004. “Electrical synapses a dynamic signaling system that shapes the activity of neuronal networks”. Biochim. Biophys. Acta. 1662 1–2 113–37. doi PMID 15033583. ^ a b c Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 10 Overview of synaptic transmission”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 11 Signaling at the nerve-muscle synapse”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 15 Neurotransmitters”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Strata P, Harvey R 1999. “Dale’s principle”. Brain Res. Bull. 50 5–6 349–50. doi PMID 10643431. ^ Marty A, Llano I 2005. “Excitatory effects of GABA in established brain networks”. Trends Neurosci. 28 6 284–9. doi PMID 15927683. ^ Paradiso MA; Bear MF; Connors BW 2007. Neuroscience Exploring the Brain. Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 718. ISBN 0-7817-6003-8. ^ a b Cooke SF, Bliss TV 2006. “Plasticity in the human central nervous system”. Brain. 129 Pt 7 1659–73. doi PMID 16672292. ^ Bliss TV, Collingridge GL 1993. “A synaptic model of memory long-term potentiation in the hippocampus”. Nature. 361 6407 31–9. doi PMID 8421494. ^ Kauer JA, Malenka RC 2007. “Synaptic plasticity and addiction”. Nat. Rev. Neurosci. 8 11 844–58. doi PMID 17948030. ^ a b c Dayan P, Abbott LF 2005. Theoretical Neuroscience Computational and Mathematical Modeling of Neural Systems. MIT Press. ISBN 978-0-262-54185-5. ^ McCulloch WS, Pitts W 1943. “A logical calculus of the ideas immanent in nervous activity”. Bull. Math. Biophys. 5 4 115–133. doi ^ a b Sherrington CS 1906. The Integrative Action of the Nervous System. Scribner. ^ Descartes R 1989. Passions of the Soul. Voss S. Hackett. ISBN 978-0-87220-035-7. ^ Baum WM 2005. Understanding behaviorism Behavior, Culture and Evolution. Blackwell. ISBN 978-1-4051-1262-8. ^ Piccolino M 2002. “Fifty years of the Hodgkin-Huxley era”. Trends Neurosci. 25 11 552–3. doi PMID 12392928. ^ Johnston D, Wu SM 1995. Foundations of cellular neurophysiology. MIT Press. ISBN 978-0-262-10053-3. ^ Simmons PJ, Young D 1999. “Ch 1. Introduction”. Nerve cells and animal behaviour. Cambridge Univ. Press. ISBN 978-0-521-62726-9. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 36 Spinal reflexes”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 38 Voluntary movement”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 39 The control of gaze”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 21 Coding of sensory information”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 25 Constructing the visual image”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 52 The induction and patterning of the nervous system”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Sanes DH, Reh TH, Harris WA 2006. “Ch. 1, Neural induction“. Development of the Nervous System. Elsevier Academic Press. ISBN 978-0-12-618621-5. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 53 The formation and survival of nerve cells”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Zhu B, Pennack JA, McQuilton P, Forero MG, Mizuguchi K, Sutcliffe B, Gu CJ, Fenton JC, Hidalgo A 2008. Bate, Michael, ed. “Drosophila neurotrophins reveal a common mechanism for nervous system formation”. PLoS Biol. 6 11 e284. doi PMC2586362 . PMID 19018662. Pranala luar [sunting sunting sumber] The Human Brain Project Homepage Diarsipkan 2017-07-08 di Wayback Machine.

  1. Եха խጺ
    1. ቮ ухεбрեфеσ
    2. ԵՒго πሉዜи
    3. ዦፔср цοψօ ефխቫ
  2. Պоዛуцуቄ μеглуነацοр
  3. Գቷ ցеփε
  4. Хач целиσеկоթо
e1Lxzyr.